DEFINISI KATOLIK ( bag II ) ~ ~~ Murninya Kata hati ~~

Rabu, 27 Februari 2008

DEFINISI KATOLIK ( bag II )


4. Origenes
Origenes adalah seorang yang tingkat kepandaiannya dapat disetarakan dengan para Dewa. 6054 buah Kitab ditulis olehnya, terutama Kitab yang berisi tafsiran ketuhanan dan filsafat.Ajaran Origenes adalah sebagai berikut:

“Asal dan tujuan dart segala sesuatu yang hidup adalah ‘Bapa’, Allah yang abadi, yang dart kekal melahirkan segala sesuatu yang ada. Yangpertama dilahirkan oleh Allah adalah Logos, yang Keilahiannya tetap lebih rendah dari ‘Bapa’. Logos atau Anak adalah oknum yangmelahirkan Roh Kudus. Dari Roh itu terpancarlah segala Roh ataujiwa yang lebih rendah, yang juga bertabiat Illahi akan tetapi berkehendak bebas”.
Kehendak itu disalahgunakan untuk melawan Allah. Cuma satu jiwa saja yang tetap setia kepada Allah. Sebagai hukuman atas masalah ini, semua Roh yang jatuh ke dalam dosa dikurung dalam sebuah (suatu) badan jasmani. Malaikat-malaikat yang jatuh sedikit saja, sehingga mendapat badan serupa bintang dilangit. Di bawah Malaikat adalah dunia dan dibawah dunia adalah setan-setan yang hidup dalam kegelapan. Malaikat dan setan berjuangmerebut dunia dan manusia.
Dasar dan sistem yang di pakai Origenes dalam penafsiran yang alegoris terlalu sangat lemah, sekalipun demikian Gereja pada zaman itu menghormati Origenes sebagai Bapa Gereja, kemudian pada tahun 399 M Gereja mulai sadar bahwa ajarannya (Origenes) tidak sesuai lagi dengan Injil dan Kitab Hexapla yang ditulisnya itu, sehingga teologinya secara resmi ditolak oleh Negara Gereja.
Akan tetapi hasil-hasil pemikirannya masih ada sampai saat ini, terutama Kitab Hexapla dan kemudian direvisi oleh Hieronimus dengan nama Vulgata atas perintah Paus Damascus untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan Kitab-Kitab dalam bahasa Latin yang dewasa ini dikenal dengan nama Kitab Perjanjian Lama yang dipakai oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan sampai sekarang.
Penolakan terhadap Teologinya Origenes, bukanlah semata-mata unsur kebijakan Teologis Gereja. Melainkan juga persoalan politis dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Gereja yang semakin berkembang, menjadi masalah politis yang sangat rumit bagi Kekaisaran Romawi yang bukan merupakan suatu kesatuan dalam suku, agama dan ras, oleh karena itu Kaisar Decius berpendapat bahwa persatuan semua daerah dan warga daerah dalam sebuah negara hanya dapat tercapai (terwujud) apabila dipersatukan dalam negara agama yaitu: satu Ilah, satu Negara dan satu Kaisar.
Penyatuan warga negara dan segala daerah diawali dari tata cara peribadatan terutama dalam kalangan penganut kepercayaan pagan yang waktu itu memiliki jumlah penganut terbanyak dalam wilayah kekaisaran yang kemudian hal ini diikuti juga oleh aliran-aliran yang lainnya seperti Arianysme, dan Hellenisme.
Ketika orang kafir (golongan Arian, Pagan, dan Hellenis) mempersembahkan korban kepada dewanya dan kepada kaisar, Gereja yang memandang hal ini sebagai hal yang positif atau suatu hal yang sangat baik dalam mencari jumlah penganut, ikut-ikutan membakar korban untuk kaisar dan dewanya kaum kafir tersebut. Ditinjau daIj segi politis, ha! tersebut sangatlah bermanfaat karena pada dasarnya kaisar-kaisar Romawi adalah kaisar yang gila hormat, dan dengan mengikuti aturan kaisar, Gereja dalam pergerakannya mencapai titik positif dimana negara dapat dijadikan ‘Gereja’ (agama negara). Sebaliknya kalau ditinjau dari sudut kebajikan teologis, dapatlah dikatakan bahwa manusia sedang berdagang dengan Tuhannya.
Pandangan yang Kedua “kebajikan teologis terutama dalam nilai ‘eskatologis’”) ini menguasai kebaktian Gereja hingga saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam perjamuan suci (kudus) “Eucharisty”. Perjamuan ini dipandang baik sebagai suatu korban dari anggota jemaat, yang patut dipahalai Tuhan, dan sebagai hadiah dari Sorga yang dikaruniai Tuhan secara ‘magis-realistis’.
Ketika kekaisaran (empirium) semakin melemah sebagai akibat dari berbagai kekalahan-kekalahan dalam peperangan, orang-orang (kafir dan Gereja) berpendapat bahwa dewa-dewa murka karena kedurhakaan kepada orang-orang yang tidak mau turut berbakti kepada kaisar (dewa), sehingga terjadilah pembantaian secara besar-besaran dimana kita melihat banyak sekali martir-martir yang harus mati di tiang gantungan dan dibakar hidup-hidup.
Salah satu butir dogma dari ajaran Origenes adalah: menolak penyatuan antara agama dan negara yang dalam hal ini diperankan oleh kekaisaran Romawi. Sebagai akibat dari ajaran ini, Origenes harus mati di siksa (dibakar) penguasa Romawi.
Sesungguhnya Teologi Origenes ini teramat sangat indah karena filsafatnya ini merupakan hasil perpaduan filsafat Plato dengan filsafat Hellenisme. Ajaran ini (Origenes) menjadi suatu susunan filsafat agama Roma Katolik yang dapat saya sebut sebagai puncak atau mahkota kekafiran Hellenisme yang membawa dampak yang sangat tidak diinginkan di mana timbul perselisihan-perselisihan yang sangat hebat atau skisma besar.
Perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur. Perselisihan dan pertentangan -pertentangan ini secepatnya harus diselesaikan. Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur.
Perselisihan dan pertentangan -pertentangan ini secepatnya harus diselesaikan. Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai Perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur.
Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai Toronto blessing. “Seorang manusia,harus mampu untuk membedakan kewajibannya, baik terhadap sesama manusia, maupun kepada Allah. Disini Origenes memberikan pemisahan tentang kewajiban tersebut. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, rumusan mulia ini di pelesetkan menjadi (baca: untuk) hukum Kanon, “Berikan kepada Allah atas apa yang telah menjadi HakNya, dan berikan juga kepada Manusia atas apa yang telah menjadi haknya.” Dalam kebagusan konsep tersebut, muncul sebuah ironi yang cukup menyakitkan bahwa: Manusia dapat disetarakan dengan Allah.

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.