Rabu, 27 Februari 2008

PERTENTANGAN AJARAN / ALIRAN DOGMA GEREJA DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

A. PENDAHULUAN

Dalam mempelajari permasalahan ini (dogma dan ajaran agama Kristen/ Katolik), senang atau tidak kita harus kembali lagi ke abad IV SM sampai dengan abad ke XV M, di mana kebiasaan penguasa Romawi, reaksi masyarakat, konsep tentang tuhan, status ten tang manusia, tujuan-tujuan dari agama dan kehidupan ini, untuk dapat dijadikan panduan dalam studi terse but. Hal ini bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada melainkan sebuah kemestian yang harus dilaksanakan karena budayabudaya tersebut melatar belakangi perumusan dogma agama “Gereja Samawi”? tersebut. Mengurai permasalahan ini secara mendetail khususnya perilaku penguasa Romawi tidak begitu bermanfaat, sekalipun konsep-konsep kebajikan teologis ini berasal dari buah pikiran mereka, akan tetapi dalam kesempatan ini saya membahas beberapa istilah dalam Gereja dan memaparkan beberapa Kontradiksi dogma Gereja sejarah perkembangannya, guna untuk ketahui umat yang awam dalam permasalahan ini. Sebagian dari dogma tersebut masih dipertahankan dalam tata cara peribadatan. dapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. ADOPSIONISME
Ajaran ini mengajarkan bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diangkat menjadi Anak Allah. Yesus adalah seorang manusia yang bijaksana dan taat kepada Allah. Oleh karena itu, kepadanya dipersatukan Roh Allah.Yesus melaksanakan perintah Allah dengan sempuma, sehingga dia diangkat ketingkat Ilahi sebagai Anak Allah dan disembah sebagai Anak Tuhan. Ajaran seperti ini terdapat pertama kali dalam golongan Ebionit yang diperkembangkan oleh golongan Monarkhisme dinamis pada abad II dan III M.
Pada abad VIII M, ajaran ini muncul lagi di Spanyol oleh Elipandus (Uskup Toledo) dan Felix Uskup Urge!. Sidang Sinode Roma pada tahun 799 M mengutuk ajaran ini sebagai ajaran yang sesat. Akan tetapi dewasa ini kalangan Protestan (Gereja Advent) memakai ajaran ini untuk menjelaskan Dogma Ketuhanan Yesus. Adopsionisme merupakan usaha untuk menjelaskan tentang tabiat Rahi manusia Yesus dan bagaimana nisbah di antara Kedua tabiat tersebut.

2. ABTBRNI PATRIS
Aeterni Patris adalah nama ensiklinik yang dikeluarkan Paus Leo XIII pada tanggal4 Agustus 1879 yang mendesak Gereja untuk mempelajari filsafat terutama karya-karya Thomas Aguinas. Hal ini mengakibatkan munculnya kembali filsafat Skolastik terutama filsafat Thomisme. Filsafat ini mendapat kedudukan yang sentral dalam Gereja. Anehnya ensiklik tersebut dewasa ini berubah posisi menjadi dogma.

3. ANABAPTIS
Anabaptis berasal dari bahasa Yunani: Ana dan Baptiso, yang berarti pembaptisan kembali. Kata ini dipergunakan kepada bermacam-macam kelompok Kristen di Eropa daratan pada abad XVI yang menolakBaptisan anak-anaknya dibaptis. Mereka menekankan Baptisan bagi orang yang percaya (dewasa). Nama ini merupakan sindiran yang ditujukan kepada Gereja Katolik Roma, karena mereka menolak Baptisan anak sebagai Baptisan yang benar. Mereka membaptiskan kembali anak yang telah dibaptis waktu kedl, apabila dia sudah menjadi dewasa. Dalam kalangan Anabaptis terdapat beberapa kelompok seperti:
•Kelompok yang dipimpin oleh Thomas Munzer dan NabiNabi dari Zwickau yang muncul di Witthenberg pada tahun 1521. Kelompok ini mengajarkan ajaran tentang ‘Bathiniah’. Ajaran ini kemudian muncul kembali dalam golongan Quaker.
•Persaudaraan Swiss. Kelompok ini dipimpin oleh: Hans Denck (1485 -1527) dan Balthasar Hubmaier (1485-1528) dan berkembang di Swiss dan Jerman selatan bagian barat. Mereka mengajarkan bahwa:Baptisan orang percaya yang adalah merupakan dasar persekutuan jemaat. BekeIja pada lembaga pemerintah ditolak oleh mereka.
•Persaudaraan Hutterian. Kelompok ini dipimpin oleh Yakop Hutter.Mereka sangat menekankan akan hak milik seseorang sebagai hak milik sesama. Kelompok ini berkembang di MOIvia dan kemudian di Amerlka Serlkat.
•Golongan Melkhiorit (Hoffmanit). Golongan ini dipimpin oleh Melkhior Hoffman. Mereka menekankan bahwa :Yesus akan segera kembali dan kedatangan Yesus akan segera teradi. Kerajaan Allah akan segera didirikan di bumi, dan Allah akanmenghukum orangyang berdosa, yang sesuai dengan kadar dosanya.
•Kelompok Anabaptis yang menggungsi ke Munster. Kelompok ini berusaha mendirikan kerajaan orangorang suci dibawah pimpinanJan Bockelson. Kelompok ini mengajarkan Poligami.
•Kelompok Menomit. Kelompok ini dipimpin oleh Simons di Belanda. Mereka menolak kekerasan, sumpah dan bekeIja sebagai pegawai negeri. Para Refor-mator (Gereja-Gereja Pembaharu) menolak Anabaptis. Anabaptis dihambat oleh Gereja Katolik Roma dan dikutuk, akan tetapi pada abad ke 19, mereka memperoleh kebebasan untuk hidup dan berkembang.

4. ANAMNESIS
Berasal dari bahasa Yunani: Anamnesis yang berarti “peringatan atau kenangan”. Kata ini pergunakan untuk menunjukan kepada cerita tentang penderitaan Yesus, kematian dan kebangkitan kembali, yang diucapkan oleh pemimpin Liturgi dalam perayaan tersebut. Perayaan (upacara) ini dikenal pada abad ke2 SM, dalam tata cara peribadatan kaum Hellenis, jauh sebelum Yesus orang Nasaret itu lahir.

5. ANIMA CHRlSTI
Berasal dari bahasa Latin yang artinya “Jiwa Yesus”. Doa ini biasanya dipergunakan dalam Ekaristi pribadi. Doa ini bukan berawal pada abad Keempat dan bukan ciptaan Ignatius dari Loyola ataupun Paus Y ohanes XXII seperti yang diduga banyak orang. Melainkan sebuah rangkaian dengan ANAMNESIS.

6.ANTILEGOMEMA
Adalah istilah yang dipergunakan oleh Eusibius dari Kaisarea, sejarahwan yang menulis Injil Matius dan Markus, untuk menunjukan tulisan-tulisan yang dipersoalkan atau diragukan kebenarannya. Istilah ini kemudian dalam perkembangannya dipergunakan untuk membedakan tuliasan-tulisan yang pada umumnya ditolak sebagai Firman Allah. Tulisan-tulisan yang dipersoalkan itu pada umumnya diterima sebagai firman Allah, sekaligus sebagai Kitab Kanoniek. Kitab-Kitab yang diterima itu adalah: Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes serta Yudas. Sedangkan tulisan-tulisan yang dipandang sebagai tulisan non Kanonik antara lain adalah: Kisah Paulus, wahyu kepada Y ohanes, surat Barnabas dan Didache.

7. ANTIN0MIANISME
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani anti-anti, “melawan” dan monos artinya “hukum”, “peraturan”. Antinomos artinya melawan hukum. Istilah ini menunjuk kepada ajaran yang mengajarkan bahwa orang Kristen oleh kasih kumia Allah telah dibebaskan dari melakukan hukum Taurat. Seorang Kristen telah dibenarkan oleh iman dalam Yesus Kristus, sehingga mereka tidak lagt tunduk dfbawah hukum Taurat.
Antinomianisme muncul pada abad Kedua dan Ketiga Masehi, yaitu dari sekte Adamit di Afrika Utara. Banyak aliran dalam Gnostik bersifat Antinomian. Mereka mengajarkan bahwa hukum Taurat diberikan oleh Demiurgos bukanlah Allah yang benar yang harns ditaati.

8. BINITARIANISME
Aliran yang mengajarkan bahwa Trinitas hanya terdapat dua oknum yaitu Allah Bapa dan Allah Anak. Aliran ini tidak mengakui Roh Kudus sebagai oknum yang tersendiri dalam keilahian. Ajaran ini tampak dalam ajaran Tertulianus sebelum ia menjadi pengikut Montanus.lstilah ini dipergunakan oleh F. Loofs pada tahun 1898.


Selengkapnya...

DEFINISI KATOLIK ( bag IV - habis)


3. Konslll Efesus (431 M)
Konsili ini diakui sebagai Konsili Oikumenis yang ke Ill, diadakan atas desakan KaisarThedosius 11 untuk menyelesaikan pertikaian Nestorius. Konsili ini diadakan pada tangga122 Juni 431 M yang dibuka oleh Memon - Uskup Efesus dan” Cyrillus dari Alexandria tanpa menunggu kedatangan Uskup Syiria yang dipimpin Yohanes dari Antiokia dan wakil Paus Clementinus I. Sidang Konsili ini memutuskan bahwa Nestorius dipecat dari keuskupan Constantinopel dan dieskkomunikasikan serta ajarannya tentang tabiat Yesus ditolak (dikutuk). Pengakuan Iman Nieea ditegaskan lagi. Istilah ‘Theotokos’7 dibenarkan. Ketika Uskup Syiriayang dipimpin Yohanes dari Antiokia tiba, mereka juga membuka Konsili sendiri dan mengutuk Cyrillus dari Alexandria dan Memon Uskup Efesus.

4. Konsill Chalcedon (451 M)
Konsili ini diakui sebagai Konsili Oikumenis yang ke IV, diadakan di Chalcedon - Asia Keeil dekat Constantinopel pada tahun 451 M, atas undangan Kaisar Marcianus. Dalam Konsili ini hadir semua Uskup dari Afrika, dan dua orang wakil Paus. Konsili ini merumuskan beberapa keputusan dan beberapa keketetapan. Adapun ketetapan-ketetapan tersebut adalah:
1.Keputusan Konsili Latrosinium pada tahun 449 M dibatalkan dan Eutyches ditolak.
2.Mereka yang menolak Theotokos terhadap Maria dikutuk.
3.Keputusan Nicea dan Constantinopel ten tang oknum Kristus dikuatkan kembali dan ajaran Nestorius (Nestorianisme) dikutuk.
4.Mereka yang mengatakan bahwa Yesus sebelum berinkarnasi mempunyai dua tabiat dan sesudah inkarnasi menjadi satu tabiat ditolak.
5.Surat Cyrillus kepada Nestorius dan surat Leo kepada Flavianus dibenarkan.
6.Ajaran bahwa Yesus adalah satu oknum yang mempunyai dua tabiat yang tidak tercampur dibenarkan.
7.Uskup Constantinopel diberi gelar Patriarkh dan menduduki tempat kehormatan (tempat Kedua) setelah Roma.
8.Pengakuan iman Chelcedon ditetapkan.

5. Konsili Sardika (343 M)
Konsili ini diadakan atas permintaan Kaisar Constans dan Constantinus pada tahun 343 yang bertujuan untuk menetapkan ortodoksi Anthanasius. Sidang Konsili ini dipimpin oleh Hosius-Uskup Cordoba. Konsili ini hanya dihadiri oleh Uskup-Uskup Barat sebab Uskup-Uskup Timur meninggalkan Konsili karena mereka tidak menyetujui Anthanasius sebagai peserta resmi, karena Uskup-Uskup Timur sudah memecatnya (Anthanasius)

6. Konsili Florence (1438 1′1-1445 M)
Konsili Florence ini diadakan berturut-turut di tiga kota yaitu: Florence 1439 M, Ferara 1438 M 1439 M, Roma 1443 M - 1445 M. Maksud atau tujuan diadakan Konsili ini adalah untuk menyatukan Gereja Timur dan Gereja Barat. Gereja Timur meminta bantuan Gereja Barat dalam memerangi Turki atas kota Constantinopel. Konsili ini pada awalnya dibuka di Ferara pada tanggal 8 Januari 1438 M, atas permintaan Gereja Timur oleh Paus Eugenius IV. Dalam pertemuan ini hadir juga orang-orang terkemuka seperti Kaisar Yunani Y ohanes IV, Palaeologus dan Yusuf, Patriarkh Constantinopel. sejumlah Teolog dari Gereja Barat hadir seperti: Uskup Agung Nicea, Kardinal Cesarini, Yohanes dari Montenero, Besarion, Markus dan metropolitan Efesus.
Konsili ini kemudian dipindahkan ke Florence pada tanggal 26 Januari 1439 M. Pembahasan dilanjutkan tentang apakah Allah Roh Kudus keluar dari Allah Anak (Yesus), pemakaian roti yang tidak beragi pada Ekaristi, api pencucian dan supremasi Paus. Tidak ada kesepakaatan dalam pertemuan ini. Akhirnya Gereja Timur meninggalkan pertemuan, namun Gereja Barat tetap meneruskan Konsili tersebut. Supremasi Paus atas Konsili ini ditetapkan dengan: Bula etsi non Dubitemus pada tanggal 20 April 1441 M. Kesatuan dengan Gereja Armenia ditetapkan pada tahun 1439 M dan dengan Gereja Koptik Mesir ditetapkan pada tahun 1442 M. Pada tahun 1443 M, Konsili ini dipindahkan ke kota Roma. Hanya sedikit yang kita ketahui tentang keputusan Konsili ini. Kesatuan dicapai dengan Gereja Syiria, Gereja Kaldea, Maronit di Siprus. Tidak ada berita resmi tentang penutupan Konsili ini.

7. Konslli Lateran (1123 M. 1139 M, 1179 M, 1215 M, 1512 M, & 1517 M)
Terdapat lima Konsili Lateran yaitu yang diselenggarakan pada tahun 1123 M. 1139 M. 1179 M. 1215 M dan 1 5 12 M - 1517 M. Konsili - Konsili ini diadakan di Lateran, Roma. Konsili Lateran I diadakan atas permintaan Paus Calistus III untuk mensahkan konkordat wonnsdan diakhiri dengan perdebatan investitur. Konsili Lateran IV diadakan atas permintaan Paus Innocentius Ill. Konsili ini meru pC1kan Konsili terpenting dari semua Konsili yang diadakan di Lateran. Konsili ini memutuskan beberapa keputusan. Adapun keputusan-keputusan itu antara lain:
1.Mengutuk beberapa aliran seperti golongan athar.
2.Ajaran Trans-Substansi disahkan.
3.Uskup wajib memeriksa pengajaran umatnya.
Konsili Lateran II diadakan atas permintaan Paus Innocen tius II (1139 M) adalah bertujuan un tuk membahas pembaharuan Gereja setelah Skisma Besar. Konsili ini menghasilkan tiga puluh kanon dan mengu tuk pengikut - pengikut Arnold dari Bresica. Konsili Lateran III diadakan atas permintaan Paus Alexander III bertujuan untuk menghapus Skisma Paus Calistus II. Konsili ini menetapkan tata cara pemilihan Paus. Hak untuk memilih Paus dibatasi pada Dewan Cardinal dan diperlukan dua pertiga suara. Konsili Lateran V dipanggil oleh Paus Julius 11 pada tahun 1512 M - 1517 M. Konsili ini bertujuan untuk membatalkan keputusan Konsili Pisa anti Paus oleh Louis dari Perancis

9. Konsili Pisa (1409 M)
Konsili ini dipengaruhi oleh Dewan Cardinal pada tahun 1409 M yang bertujuan untuk mengakhiri skisma besar yang telah memisahkan Kekristenan Barat sejak tahun 1378 M. Sekalipun Kedua Paus sendiri-sendiri dalam mengadakan Konsili ini sebagai Konsili tandingan, akan tetapi Konsili Pisa tetap dipandang sebagai Konsili yang sah. Paus Benedictus XIII mengadakan Konsili di Perpignan, dan Paus Gregorius XII mengadakan kosnili di Cividale dekat Aquileia., Konsili ini memutuskan bahwa Kedua Paus adalah skimastik dan oleh karena itu harns dipecat. Konsili memilih Cardinal Petrus dari Philargi sebagai Paus dan memakai gelar Alexander V. Gereja Katolik tidak mengakui Konsili ini sebagai Konsili Oikumenis karena ia (Gereja Katolik) tidak dipanggil oleh Sri Paus. Skima tidak dapat diakhiri malah diperburuk, karena ada tiga orang Paus sekaligus mengadakan Konsili ini secara terpisah atau sendiri-sendiri.

10. KONSILI TERENTE/TOROTNTO (1237 M)
Konsili ini merupakan Konsili Oikumenis yang ke XIX (sembilan Belas) dalam Gereja Katolik Roma. Diadakan pada tanggal23 Mei 1237 M. Dalam Konsili ini menetapkan beberapa keputusan antara lain:
1.Pengakuan Iman Nicea, bahwa Constantinopel diterima sebagai dasar iman Kristen/Katolik
2.AlKitab (PeIjanjian Lama, PeIjanjian Baru) dan tradisi mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber kebenaran
3.Hanya Gereja yang ‘berhak’ menafsirkan AlKitab PeIjanjian Lama dan Perjanjian Baru)Vulgata disahkan sebagai Kitab resmi.
4.Kitab Apokrif dua Belas (12) buah mempunyai kedudukan yang sama dengan AlKitab.
5.Tujuh sakramen ditetapkan
Perkembangan politik yang baru mengakibatkan ketegangan antara Paus Paulus HI dan Karel V sehingga Konsili tersendat-sendat dan ditambah dengan wabah di Tronto, Sidang Konsili akhirnya dipindahkan ke Bologna. Konsili d i tunda selama empat tahun hingga Paus Julius III memanggilnya kembali untuk bersidang di Trente atas desakan Spanyol. Keputusan yang terpenting adalah: berkaitan dengan Ekaristi pertobatan (ampun dosa oleh Pastur) dan minyak suci. Ajaran Transubstansi ditetapkan (disahkan) sedangkan ajaran Marthin Luther, Jhon Calvin dan Swingli tentang Akaristi dikutuk. Konsili ini merupakan Konsili terpanjang dalam sejarah.Konsili Trente, memberikan dasar-dasar yang kuat terhadap Gereja Katolik Roma terhadap gerogotan gerakan reformasi. Konsili ini dibubarkan pada tanggal 4 Desember 1563 M.



Selengkapnya...

DEFINISI KATOLIK ( bag III )



A. Penghapusan Dosa

Kebajikan theologis -terutama nilai eskatologis- Kristen/Katolik mulai mengalami dekadensi moral pada awal abad Kedua. Di mana dalam tata laksana peribadatan dimasukan unsur-unsur kekafiran yang ada di sekelilingnya, terutama budaya Hellenisme Paganisme dan Arianisme dan beberapa aliran lainnya yang hidup tumbuh dan berkembang pada masa itu dengan sangat suburnya.
Contoh kasus yang pertama dan utama (akibat kebajikan kaisar dan Uskup) adalah masalah penghapusan dosa dalam kebajikan teologis terutama dalam nilai ‘eskatologis’.’ Keputusan tentang penghapusan dosa,diputuskan pada tahun 217 M oleh Uskup Calixtus, yang memaklumkan bahwa ia selaku Uskup berhak mengampuni dosa, terutama dosa perzinahan (diampuni melalui perzinahan). Sementara dosa-dosa yang lainnya dapat diampuni apabila si pendosa membayar dengan uang tunai atau barang dalam jumlah tertentu. Keputusan Uskup Calixtus yang yang mendapat persetujuan Gereja dan kaisar ini membawa dampak dekadensi moral Iman Kristiani di dalam Gereja itu sendiri. Sebagian besar anggota jamaatnya tidak setuju dengan ajaran dan praktek Calixtus ini.
Di bawah Presbiter (ketua/penatua) Hippolytus, mereka yang tidak setuju ini memisahkan diri dari Gereja Calixtus, yang pada hemat (pendapat) mereka hal tersebut sudah dinajiskan (diharamkan) oleh dunia. Akan tetapi ajaran dan praktek Calixtus ini kemudian menang di dalam seluruh Gereja yang berserakan di wilayah kekaisaran Romawi. Dengan demikian kedudukan sang Uskup semakin kokoh dan kekuasaannya semakin tidak terbatas, karena pewarisan jabatan Rasuli, dan dengan (sebagai) pengantaraan Tuhan dengan jemaatnya dalam perjamuan sud selaku Imam yang oleh kuasa Roh Kudusnya ia berhak mengampuni dosa. Semenjak saat itu hingga akhir abad ke tiga Belas praktek-praktek ini di kembangkan dalam tata cara peribadatan dalam Gereja dan dewasa ini praktek yang dijalankan Calixtus itu masih dipertahankan dalam kebaktian-kebaktian Gereja Katolik sehingga memuarakan segala upaya dan kekaryaan Uskup, Pastor dan para Klerus bermuara pada praktek setan. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena pada masa itu mereka hidup di dalam negara agama (Negara Gereja), di mana mereka mengejar kekuasaan, kehormatan, materi, wanita dan lain sebagainya.dan dewasa ini mereka hidup dalam istana istana yang bisa ditebus dengan harga sebuah pulau.
Segala kelakuan mereka tidak ada bedanya dengan kelakuan kaisar-kaisar Romawi (Italli) lainnya pada zaman dahulu yang hidup dalam percabulan, kemewahan, cinta diri, menjadi suatu hal yang seharusnya terjadi di dalam istana ke Uskupan. Bourgia menjadi salah satu contoh dalam kasus yang sangat mulia ini. Contoh lain dalam kasus ini adalah kasus perayaan Natal. Pada awalnya perayaan Natal ini diperingati sebagai peringatan akan Baptisan Yesus setiap tanggal 6 Januari. Tetapi dalam perkembangan dirubah menjadi tangga l25 Desember, yang mana pada hari itu diperingati sebagai hari kelahiran Dewa Matahari yang tidak terkalahkan, Dewa Kaisar Romawi.
Roh Roma yang lebih mengutamakan praktek percabulan dan Roh Timur yang suka berfilsafat dan mistik, membuat pokok-pokok kebajikan teologis, terutama dalam Nilai Eskalogis sukar untuk dipersatukan dalam abad-abad berikutnya. Sekalipun demikian, dalam pertentangan ini ada Juga titik persamaannya, yaitu: Gereja Barat (Roma Katolik) dan Gereja Timur (Anglikan) bukan lagi suatu perkumpulan Rohani yang bersumber pada firman Tuhan. Karena di mana-mana anggota jemaatnya bersandar pada Uskupnya, karena hanya Uskup sajalah yang dapat memberikan perlindungan dan pengampunan dengan ajaran-ajarannya yang sesat. Kebenaran firman Tuhan ditukar dengan kuasa dan jabatan Uskup yang selaku pengganti rasul-rasul Yesus. Sangat tidak berlebihan Tertullianus menyindir para Uskup di Gereja Barat dengan mengatakan “Gereja adalah Jumlah Uskup”.
8. Konsill-Konsill Oikumenis dan KetetapanKetetapannya
Memudahkan kita dalam mengarahkan kajian ini ke dalam sebuah sistematika kajian yang lebih terarah tentang Agama apa yang dibawa Yesus ataukah benarkah Maim kalangan Kristen atau Katolik bahwa agama yang mereka anut itu adalah agama Samawi atau tidak. Di bawah ini saya paparkan Sidang-Sidang Konsili Oikumenis dan hasil ketetapannya. Karena dalam Sidang Konsili ini semua keputusan tentang dogma-dogma agama dan Gereja Samawi di tetapkan. Adapun Konsili-Konsili yang saya maksudkan adalah sebagai berikut:

1. Konsili Nicea. (325 M lie 787 M)
Konsili Nicea yang pertama diadakan atas desakan dan permintaan Kaisar Constantin untuk menyelesaikan pertikaian tentang masalah Trinitas (Arianisme). Konsili ini awalnya diadakan di Ancyra, namun kemudian dipindahkan ke Nicea dan dibuka pada tanggal 20 Mei 325 M, oleh Kaisar Constantin. Tujuan yang paling pertama dan utama Constantin mendesak petinggi Gereja untuk mengadakan Konsili Oikumenis ini adalah untuk menjamin kestabilan politik dalam kerajaannya dengan sebuah ketetapan spektakuler Kebajikan Theologis “Trinitas” disahkan. Akan tetapi dalam Konsili ini permasalahan monothelit yang menjadi bagian dari rumusan Trinitas tidak mendapat kesepakatan. Sesudah pidato pembukaan oleh Kaisar Constantin, pimpinan Konsili dialihkan kepada Hosius-Uskup Cordoba, yang menemani Constantin dari Gereja Barat. Meskipun ada perbedaan pandangan yang menginginkan agar Eustathius-Uskup Antiokia yang meminpin sidang Konsili: Golongan Arian mempersembahkan pengakuan Arianisme yang disusun oleh Eustathius. Kemudian Eusibius dari Kaisarea mempersembahkan pengakuan iman Baptisan yang berlaku dalam jemaatnya di Palestina. Pengakuan iman ini diterima oleh Konsili sebagai pengakuan iman yang sah setelah ditambahkan kata: Homoousios; di dalamnya. Adapun pcngakuan iman Nicea (I man Arian) adalah sebagai berikut:
“Aku percaya akan satu Allah, Bapa Yang Maha Kuasa,pencipta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan. Yesus Kristus yang telah diperAnakkan dari Bapa. Allah yang di peranakkan dari Bapa. Bapanya Allah dari Allah. Terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati. Yang diperAnakkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, dan yang ada di bwni. Yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita. turun dan menjadi daging, menjelma menjadi manusia, menderita sengsara dan bangkit pula pada hari yang ke-3 naik ke sorga, dan akan datang untuk menghakimi orany hidup dan yang mati, dan kepada Roh Kudus”.
Pengakuan ini ditandatangani oleh semua Uskup yang hadir kecuali dua orang Uskup yaitu: Theonaa dari Marmanika dan Sekondus Uskup Ptolemais. Kedua uskup ini dipecat dan diusir oleh Dewan Konsili. Jumlah Uskup yang hadir dalam Konsili ini sulitditetapkan. Pada umumnya dianggap jumlah pesertanya adalah 318 (tiga ratus delapan Belas) orang Uskup. Data ini didasarkan pada tulisan Anthanasius. Tampak angka ini hanya perlambang dari Jumlah hamba Ibrahim dalam Kitab kejadian 14: 14. Jumlah peserta diperkirakan 220 hingga 235 orang. Konsili Nicea yang Kedua pada tahun 787 M, diadakan atas permintaan Tarasius-Patriarkh Constantinopel untuk menyelesaikan pertikaian Ikonoklasik, Paus Hadrianus I menerima undangan Ratu Irene dan mengirimkan dua orang utusannya dengan syarat: Sinode Ikonoklasik di Hiera pada tahun 753 M dikutuk. Patriarkh Antiokia, Alexandria, dan Yerusalem tidak hadir (absen) karena wilayah mereka sudah berada di bawah pemerintahan Turki dan Islam. Masing-masing mereka mengirim dua orang biarawan. Konsili ini dibuka pada tanggal 17 Agustus 786 M, Konsili ini dibubarkan oleh tentara Ikonoklasik sehingga tidak bersidang sampai dengan tanggal 24 September 787M. Konsili ini memutuskan bahwa Ikon hanya mendapat penghormatan (Prokunesis) sebagaimana penjelasan Paus dalam suratnya kepada Konsili. Konsili ini menambahkan bahwa mereka menghormati Ikon dengan kasih yang relatif (Schtikoi Pothoi) karena pemuJaan (Latreia) hanya ditujukan kepada Allah saJa. Keputusan konsilli ini ditanda tangani oleh semua yang hadir termasuk Kaisar Constantin dan Anaknya Constantinus. Konsili ini menghasilkan 22 kanon yang berhu bungan dengan disiplin Gereja, seperti pembatalan pemilihan U skup, Imam dan diakon oleh pemerintah, Simoni dikutuk, Imam dilarang meninggalkan diosisnya tanpa seizin Uskup, wanita dilarang tinggal di rumah Uskup dan dalam biara lakilaki serta kesederhanaan Klerus dipertegas lagi. KonsiliNicea Kedua ini merupakan Konsili Oikumenis yang Ketujuh.

2. Konsili Constantinopel (381 M, 553 & 680 M)
Konsili Constantinopel 11 atas permintaan Kaisar Justinianus pada tahun 553 M. Konsili ini merupakan Konsili Oikumenis yang ke V. Tujuan diadakan Konsili ini adalah untuk mengambil keputusan ‘apakah Theodorus dari Mopseustia, Theodorus dari Siprus dan Ibas dari Edesa dikutuk karena ajaran mereka bawa ‘berbau Nestoryanisme, ataukah dibiarkan saja seperti sikap petinggi Gereja dalam Sidang Konsili Chaleedon 451 M. Konsili ini memu tuskan ku tukan at as mereka dan dikenakan tindakan ekskomunikasi. Paus Vigilius mengutuk 60 pokok ajaran Theodorus dan kawankawannya, karena Konsili Efesus 431 M, Konsili Chaleedon 451 M tidak mengutuknya, karena mereka sudah meninggal (mati). Sidang Konsili ini dipimpin oleh: Euthyees-Patriarkh Constantinopel, dan dihadiri oleh 165 (Seratus enam puluh lima) orang Uskup yang kesemuanya itu berasal dari wilayah Timur. Konsili Constantinopel Ketiga tahun 680 M, diadakan atas desakan Kaisar Constantinus IV (Pogonatus) adalah bertujuan untuk menyelesaikan persoalan monothelit (satu kehendak pada inkarnasi Yesus) dalam Gereja Timur. Pada tahun 680 M, Paus Agatho memanggil dan mengadakan Sidang Sinode di Roma di mana ajaran tentang dua kehendak dalam inkarnasi Yesus dihenarkan. Paus mengirim utusannya kepada Kaisar dengan surat penjelesan tentang ajaran ini. Konsili ini mengutuk Maearius-Patriarkh Antiokia yang menganut ajaran monothelit. Keputusan dogmatis Konsili ini pada umumnya mengulang kembali Konsili Chaleedon. Konsili menolak penyatuan dua kehendak, tetapl menerima kesatuan moral. Konsili ini diakui sebagai Konsili Oikumenis yang ke VI.




Selengkapnya...

DEFINISI KATOLIK ( bag II )


4. Origenes
Origenes adalah seorang yang tingkat kepandaiannya dapat disetarakan dengan para Dewa. 6054 buah Kitab ditulis olehnya, terutama Kitab yang berisi tafsiran ketuhanan dan filsafat.Ajaran Origenes adalah sebagai berikut:

“Asal dan tujuan dart segala sesuatu yang hidup adalah ‘Bapa’, Allah yang abadi, yang dart kekal melahirkan segala sesuatu yang ada. Yangpertama dilahirkan oleh Allah adalah Logos, yang Keilahiannya tetap lebih rendah dari ‘Bapa’. Logos atau Anak adalah oknum yangmelahirkan Roh Kudus. Dari Roh itu terpancarlah segala Roh ataujiwa yang lebih rendah, yang juga bertabiat Illahi akan tetapi berkehendak bebas”.
Kehendak itu disalahgunakan untuk melawan Allah. Cuma satu jiwa saja yang tetap setia kepada Allah. Sebagai hukuman atas masalah ini, semua Roh yang jatuh ke dalam dosa dikurung dalam sebuah (suatu) badan jasmani. Malaikat-malaikat yang jatuh sedikit saja, sehingga mendapat badan serupa bintang dilangit. Di bawah Malaikat adalah dunia dan dibawah dunia adalah setan-setan yang hidup dalam kegelapan. Malaikat dan setan berjuangmerebut dunia dan manusia.
Dasar dan sistem yang di pakai Origenes dalam penafsiran yang alegoris terlalu sangat lemah, sekalipun demikian Gereja pada zaman itu menghormati Origenes sebagai Bapa Gereja, kemudian pada tahun 399 M Gereja mulai sadar bahwa ajarannya (Origenes) tidak sesuai lagi dengan Injil dan Kitab Hexapla yang ditulisnya itu, sehingga teologinya secara resmi ditolak oleh Negara Gereja.
Akan tetapi hasil-hasil pemikirannya masih ada sampai saat ini, terutama Kitab Hexapla dan kemudian direvisi oleh Hieronimus dengan nama Vulgata atas perintah Paus Damascus untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan Kitab-Kitab dalam bahasa Latin yang dewasa ini dikenal dengan nama Kitab Perjanjian Lama yang dipakai oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan sampai sekarang.
Penolakan terhadap Teologinya Origenes, bukanlah semata-mata unsur kebijakan Teologis Gereja. Melainkan juga persoalan politis dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Gereja yang semakin berkembang, menjadi masalah politis yang sangat rumit bagi Kekaisaran Romawi yang bukan merupakan suatu kesatuan dalam suku, agama dan ras, oleh karena itu Kaisar Decius berpendapat bahwa persatuan semua daerah dan warga daerah dalam sebuah negara hanya dapat tercapai (terwujud) apabila dipersatukan dalam negara agama yaitu: satu Ilah, satu Negara dan satu Kaisar.
Penyatuan warga negara dan segala daerah diawali dari tata cara peribadatan terutama dalam kalangan penganut kepercayaan pagan yang waktu itu memiliki jumlah penganut terbanyak dalam wilayah kekaisaran yang kemudian hal ini diikuti juga oleh aliran-aliran yang lainnya seperti Arianysme, dan Hellenisme.
Ketika orang kafir (golongan Arian, Pagan, dan Hellenis) mempersembahkan korban kepada dewanya dan kepada kaisar, Gereja yang memandang hal ini sebagai hal yang positif atau suatu hal yang sangat baik dalam mencari jumlah penganut, ikut-ikutan membakar korban untuk kaisar dan dewanya kaum kafir tersebut. Ditinjau daIj segi politis, ha! tersebut sangatlah bermanfaat karena pada dasarnya kaisar-kaisar Romawi adalah kaisar yang gila hormat, dan dengan mengikuti aturan kaisar, Gereja dalam pergerakannya mencapai titik positif dimana negara dapat dijadikan ‘Gereja’ (agama negara). Sebaliknya kalau ditinjau dari sudut kebajikan teologis, dapatlah dikatakan bahwa manusia sedang berdagang dengan Tuhannya.
Pandangan yang Kedua “kebajikan teologis terutama dalam nilai ‘eskatologis’”) ini menguasai kebaktian Gereja hingga saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam perjamuan suci (kudus) “Eucharisty”. Perjamuan ini dipandang baik sebagai suatu korban dari anggota jemaat, yang patut dipahalai Tuhan, dan sebagai hadiah dari Sorga yang dikaruniai Tuhan secara ‘magis-realistis’.
Ketika kekaisaran (empirium) semakin melemah sebagai akibat dari berbagai kekalahan-kekalahan dalam peperangan, orang-orang (kafir dan Gereja) berpendapat bahwa dewa-dewa murka karena kedurhakaan kepada orang-orang yang tidak mau turut berbakti kepada kaisar (dewa), sehingga terjadilah pembantaian secara besar-besaran dimana kita melihat banyak sekali martir-martir yang harus mati di tiang gantungan dan dibakar hidup-hidup.
Salah satu butir dogma dari ajaran Origenes adalah: menolak penyatuan antara agama dan negara yang dalam hal ini diperankan oleh kekaisaran Romawi. Sebagai akibat dari ajaran ini, Origenes harus mati di siksa (dibakar) penguasa Romawi.
Sesungguhnya Teologi Origenes ini teramat sangat indah karena filsafatnya ini merupakan hasil perpaduan filsafat Plato dengan filsafat Hellenisme. Ajaran ini (Origenes) menjadi suatu susunan filsafat agama Roma Katolik yang dapat saya sebut sebagai puncak atau mahkota kekafiran Hellenisme yang membawa dampak yang sangat tidak diinginkan di mana timbul perselisihan-perselisihan yang sangat hebat atau skisma besar.
Perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur. Perselisihan dan pertentangan -pertentangan ini secepatnya harus diselesaikan. Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur.
Perselisihan dan pertentangan -pertentangan ini secepatnya harus diselesaikan. Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai Perselisihan-perselisihan ini merambat di seluruh Gereja, baik Gereja di wilayah kekaisaran Barat maupun Timur.
Akan tetapi penyelesaian pertikaian ini tidak dapat dirumuskan dipersatukan (pecahkan) dalam Sidang Konsili yang pertama di kota Nicea pada tahun 325 M. Perseteruan ini berakhir pada tanggal 23 Mei 1537 M, yang diselesaikan oleh petinggi Gereja dalam Sidang Konsili di kota Terente yang dewasa ini beberapa Gereja pembaharu mengatakan hal ini sebagai Toronto blessing. “Seorang manusia,harus mampu untuk membedakan kewajibannya, baik terhadap sesama manusia, maupun kepada Allah. Disini Origenes memberikan pemisahan tentang kewajiban tersebut. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, rumusan mulia ini di pelesetkan menjadi (baca: untuk) hukum Kanon, “Berikan kepada Allah atas apa yang telah menjadi HakNya, dan berikan juga kepada Manusia atas apa yang telah menjadi haknya.” Dalam kebagusan konsep tersebut, muncul sebuah ironi yang cukup menyakitkan bahwa: Manusia dapat disetarakan dengan Allah.

Selengkapnya...

DEFINISI KATOLIK ( bag I )


1. Definisi Katolik
Kata Katolik berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “untuk umum”. Kalimat ini terbagi dalam dua suku kata yaitu: “Cathos’ yang berarti ‘untuk’ clan “Lichus” yang berarti umum’. Cathoslichus berarti untuk umum atau universal. Kata ini untuk pertama kalinya ditemukan dalam tulisan Ignatius dari Antiokia (Antkhiocia) yaitu surat yang dikirim kepadajemaat-jemaatnya di Smirna. Dalam terminologi Kristen/Katolik, kata ini dipergunakan untuk beberapa arti sebagai berikut:

•Gereja yang universal, sebagai unsur pembeda dengan Gereja-Gereja lokal.
•Gereja yang benar, sebagai pembeda dengan aliran skimastik.
•Bagi penulis sej arah , hal ini dipakai untuk menunjuk kepada Gereja sebelum perpecahan antara Gereja Barat dengan Gereja Timur pada tahun 1054 M.
•Semenjak munculnya gerekan reformasi yang dipimpin oleh Marthinus Luther, Gereja Barat memakai kata ini untuk nama dirinya.

2. Definisi Kristen
Kata Kristen diambil dari kata Christ dan Thelein. Christ adalah Yesus dan Thelein adalah pengajaran. Kata Kristen bermakna orang-orang yang mengikuti pengajaran Yesus. Istilah Kristen diperkenalkan dalam Gereja pada tahun 190 M oleh Tertullianus satu paket dengan Rumusan Trinitas yang adalah hasil rumusannya sendiri yang diambil dari tradisi Hellenisme.Permasalahan dalam penamaan ini, sebagian orang dari kalangan (Kristen) memberikan pernyataan bahwajikalau demikian dapatlah dikatakan bahwa usia Kristen dan Katolik itu sama atau kata Kristen lebih tua usianya. Hal atau pernyataan tersebut adalah sama sekali tidak berdasar. Karena pada tahun 207 M sewaktu diadakan Sidang Sinode Gereja di kota Sardika untuk mengambil keputusan tentang pemakaian kata untuk nama Gereja,- apakah Gereja Barat mau menerima kata Kristen untuk merubah nama Gereja Roma, Gereja Barat (Roma) keberatan untuk memakai kata Kristen sebagai nama dirinya untuk menghilangkan unsur Yahudi dalam tubuh Gereja.
Semenjak saat itu kata Kristen hilang atau tidak terdengar. Kemudian kata ini muncul kembali pada abad ke sebelas sewaktu Martinus Luther mengadakan reformasi.

3. Sumber Theology Gereja

1. Golongan Apollogetika
Golongan Apologetika adalah sekumpulan orang-orang (filsuf) yang berupaya ‘menyesuaikan Injil dengan peradaban’. Maksud atau tujuannya adalah; “ingin” membuktikan bahwa hanya Injil yang menggenapi semua cita-cita filsafat Yunani. Menurut pandangan filsafat Yunani:
“Allah bersemayam di tempat yang sangat jauh di atas dunia ini, yakni di sebuah tempat yang tidak dapat didekati. Manusia dapat berhubungan dengan Allah hanya melalui pertolongan Roh atau para. Dewa.” Roh pengantar yang paling u tama adalah ‘Logos atau Kalam’. Logos atau Kalam ini adalah Allah Yang berwujud yang terbentuk di dan oleh dunia. Konsep ini (Allah disetarakan dengan Logos) membuka pintu perpecahan dalam tubuh Gereja dan membuka pula pintunya untuk dimasuki ajaran-ajaran dari budaya-budaya kekaflran.Theologi ApolIoget tentang kelepasan dunia adalah sebagai berikut:
Allah menJadikan logos dalam rangkaian waktu, sebagai Roh yang berpribadi, dan dengan adanya Logos tersebut membuat Allah mampu untuk menjadikan (baca: menciptakan) segala sesuatu.

2. Tertullianus
Tertullianus adalah seorang pengacara yang bekerja di Chartago. Kita mengenal Tertullianus dari tulisan-tulisannya yang dibukukan sebagai bahan rujukan dalam sekolah-sekolah tinggi teologi. Kitab-Kitabnya ini (Tertullianus) ditulis sekitar tahun 195 M hingga tahun 220 M.Theologinya sama dengan golongan Apologet, yang menjadi bahan rujukan teologi Gereja Barat. Tertullianus adalah orang yang pertama kali memakai istilah “Theologia” untuk rumusan rumusan yang menjadi hal yang lazim sejak zaman itu misalnya : dosa turunan, tebusan dosa dan rumusan-rumusan yang lainnya seperti: Allah berzat satu tetapi berpribadi tiga. la memandang manusia dan Allah sebagai seorang terdakwa dihadapan hakim. Sebagai seorang apolloget, Tertullianus mengajarkan bahwa Logos adalah sesuatu zat yang lebih tinggi dari Allah.

3. Clemens dari Alexandria
Adalah seorang ahli teologi yang memadukan atau menyesuaikan filsafat Yunani dengan’ Gnostik. Maksud dan tujuannya adalah sebagai upaya untuk menggerejakan orang kafir yang tingkat intelektualnya sangat tinggi.


Selengkapnya...

FILSAFAT MANUSIA ( bag I I - habis)


3.Kebebasan dan tanggung jawab

Seperti halnya dengan subjektivitas dan transendensi, kebebasan dan tanggung jawab sebagai hal-hal yang eksistensial dari eksistensi manusia. Artinya, kebebasan dan tanggungjawab bukanlah data particular atau tambahan terhadap kenyataan manusia diantara data-data lainnya.
Kebebasan dan tanggung jawab selalu berhubungan dengan pribadi sebagaimana adanya dan sebagai keseluruhan. Obyek kebebasan dalam artinya yang terdalam adalah subyek sendiri. Sebab menjadi manusia berarti menjadi bebas. Maka kebebasan adalah sesuatu yang asali. Dalam bertindak bebas ia bertemu dan mewujudkan dirinya sendiri yang terdalam.

Ada beberapa gagasan pokok yang dapat diambil dari rumusan-rumusan ini :
Pertama kebebasan dan tanggung jawab bukanlah data particular, tetapi sesuatu yang transendental.
Sebagai sesuatu yang transendental, maka kebebasan dan tanggung jawab merupakan sesuatu yang harus diandaikan adanya supaya aktualisasi diri, tindakan bebas dan pengetahuannya menjadi mingkin, real atau dapat terjadi.
Tindakan manusia menentukan dirinya sendiri sebagaimana nyata dalam sikap-sikap, pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan moralnya berasal atau bersumber dari apa yang disebut dengan kebebasan transendental.
Kebebasan transendental adalah tanggung jawab tertinggi atau terakhir dari manusia sebagai subyek terhadap dirinya sendiri.
Artinya bahwa kebebasan merupakan elemen dasar dari setiap manusia.

Kedua termasuk dalam dalam hakekat kebebasan adalah kesanggupan untuk melampaui atau mengambil jarak terhadap dunia dan sejarahnya.
Cara bagaimana saya bertindak dan mengetahui menunjukkan bahwa saya sedang berhadapan dengan diri saya sendiri dan dengan demikian sebagai subyek yang bebas dan bertanggung jawab.
Dalam setiap tindakan kita untuk menentukan dan mengaktualisasikan diri sendiri menjadi nyata bahwa kita sebenarnya adalah mahluk yang bebas.
Kenyataan tersebut bersifat mendasar dan menegaskan keterbukaan manusia. Dalam keadaan seperti itu, ”saya” mengalami diriku sebagai subyek yang berhadapan dengan dan menyerahkan diri kepada keterbukaan itu.
Maka, setiap tindakan dan pengetahuan saya atas sesuatu yang kongkret–kategorial menjadi nyata atau jelas bahwa saya sebenarnya sedang mengisi keterbukaan saya itu.
Karena keterbukaan tersebut, saya tidak berhenti bebas dengan menentukan suatu sikap terhadap sesuatu yang kongkret.
Keterbukaan itu mendahului dan meresapi setiap tindakan dan pengetahuan kategorial saya.
Keterbukaan itulah yang memungkinkan saya sanggup mengambil jarak, melampaui, dan mentransendensi keterbatasan dunia kongkret–kategorial ini.
Ketiga kebebasan adalah kapasitas untuk sesuatu yang abadi. Maksud saya, kapasitas untuk menetapkan sesuatu yang niscaya, sesuatu yang final dan defenitif.
Maka, hakekatnya tidaklah terletak dalam kemampuan atau fakultas lainnya dimana dia dapat melakukan atau tidak dapat melakukan ini atau itu melalui pilihan yang arbitrer.
Kebebasan pertama-tama berhadapan langsung dengan subyek sebagaimana adanya dan sebagai keseluruhan.
Dalam kebebasan, subyek itu selalu memaksudkan dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang lain ; dia mengerjakan bukan sesuatu yang lain melainkan dirinya sendiri.
Maka afirmasi terhadap kebebasan mendahului negasi atau penyangkalannya.
Kita sudah selalu bebas, juga kalau kita menyangkal kebebasan itu dengan mengatakan, misalnya, saya tidak bebas.
Penyangkalan akan kebebasan merupakan salah satu bentuk aktualisasi kebebasan dan tidak setara dengan afirmasi terhadapnya.

Keempat mediasi kongkret kebebasan. Kebebasan adalah kebebasan dalam dan melalui sejarah ; terjadi dalam ruang dan waktu.
Artinya kebebasan itu ada dan aktualisasinya terjadi dalam dunia dan sejarah.
Hanya dengan jalan inilah kebebasan itu adalah kebebasan subyek dalam hubungannya dengan dirinya sendiri.
Semua keputusan subyek menjadi obyek-obyek dalam pengalamannya akan dunia sekitarnya adalah obyek-obyek kebebasan sejauh dimediasikan subyek itu dalam ruang dan waktu kepada dirinya sendiri.
Obyek-obyek kebebasan itu selalu memaksudkan dan mengaktualisasikan hal yang satu dan sama yakni subyek yang utuh dalam totalitas sejarahnya yang unik itu.
Mengapa ? karena bertindak bebas selalu berarti bertindak secara historis.
Sudah dalam arti ini kebebasan subyek tidaklah absolute sebab seseorang tidak hanya berhadapan dengan dirinya sendiri, dunia dan sesamanya tetapi juga horison mutlak, sasaran keterbukaan kita.
Kebebasanpun tidak pernah dapat diketahui atau diobjektifikasikan secara penuh justeru karena manusia selalu dapat melampaui obyek-obyek kebebasan kategorial.
Relevan pada pokok tentang kebebasan ini untuk melihat dua momennya yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain, yakni momen transendental dan momen kategorial.
Momen transendental menyangkut kebebasan sebagai presuposisi, sebagai hal yang harus diandaikan adanya agar aktualisasi diri manusia sebagaimana nyata dalam sikap-sikap, pilihan-pilihan, keputusan-keputusannya, menjadi mungkin, real dan dapat dipikirkan.

Momen kategorial menyangkut aktualisasi kebebasan dalam dunia atau sejarah.
Dua momen ini membentuk satu kesatuan. Kita dapat merefleksikan atau mengetahui kebebasan transendental ketika ia dimediasikan, diobjektifikasikan atau diaktualisasikan dalam sejarah dalam pilihan atau keputusan bebas kita.
Kita mengetahui sekaligus mengafirmasi kebebasan itu dalam pengalaman kita akan diri kita sendiri sebagai subyek.
Namun harus diingat bahwa kendatipun merupakan prasyarat, dasar dan isi kebebasan kategorial, kebebasan transendental tetap tidak pernah dapat direduksi didalam aktualisasinya yang kongkret dalam sejarah.

4.Mencari keselamatan dalam sejarah

Aspek keempat mencari keselamatan dalam sejarah ada dua hal yang saya kemukakan disini.
Pertama titik tolak untuk memahami keselamatan adalah antropologi – teologi.
Yang saya maksud adalah seluruh diri manusia dalam hubungannya yang niscaya dan tak terhindarkan dengan Pencipta (Allah).
Keyakinan dasar yang saya maksud adalah bahwa refleksi atau analisis filosofis yang mendasar atas kondisi kondisi dasar manusia tidak bisa tidak dikaitkan dengan refleksi teologis.
Maksud saya adalah pertanyaan yang real mengenai eksistensi personal merupakan pertanyaan mengenai keselamatan.
Dengan titik tolak ini dapat dihindari makna keselamatan yang cenderung mitologis yang tampak dalam paham bahwa keselamatan merupakan situasi masa depan yang jatuh pada orang tanpa ia sendiri mengharapkannya ; keselamatan dapat dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari luar dan diberikan padanya melulu atas dasar penilaian moral.
Keselamatan itu dengan dua cara yang merupakan satu kesatuan yakni pencapaian objektif dan subjektif.
Dengan pencapaian objektif dimaksudkan bahwa semua umat manusia—karena rahmat – sudah dimaksudkan untuk kembali kepada-Nya dan dengan demikian digerakkan dari dalam oleh Allah sendiri.
Dengan pencapain subjektif : pembebasan yang eksistensial dan pemenuhan kehidupan manusia itu sendiri.
Maksud saya keselamatan dalam konteks ini terkait dengan validitas yang final dam definitif dari pemahaman dan realisasi diri manusia dihadapan sang Pencipta.
Sudah dalam arti ini, keselamatan tidak dapat dicapai hanya oleh usaha manusia sendiri saja.
Mengapa ? karena manusia mahluk yang terbatas. Dia mengalami keterbatasannya secara mendasar dalam asal usulnya yang kontingen (dia tidak mutlak ada), dalam pengalaman kematian, dan dalam ancaman-ancaman yang tetap terhadap eksistensinya lantaran situasi dosa.
Akan tetapi karena manusia adalah mahluk transendensi, maka kendati dia berada atau bergerak dalam waktu yang temporal didunia ini, dia tetap terbuka dan berharap kepada kepenuhan yang lebih dari sekedar yang dapat diberikan oleh dunia yang terbatas ini.
Dia sadar akan keterbatasannya didunia temporal tetapi sekaligus merindukan eternitas atau keabadian.
Eternitas adalah pemenuhan waktu itu sendiri ; realisasi kebebasan dalam waktu dan karena itu bukanlah lawan dari waktu yang temporal.
Kedua keselamatan didalam sejarah. Pemahaman tentang keselamatan dimulai dengan mengakui secara penuh bahwa kita berada dalam sejarah sekaligus terbuka dan terarahkan pada Tuhan.
Penegasan ini penting mengingat warta atau pesan keagamaan dialamatkan kepada manusia dalam sejarah.
Subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggungjawab manusia merupakan suatu yang hakiki dan disadari atau diketahui justeru ketika mereka dimediasikan, diobjektivikasikan atau diaktualisasikan dalam dunia atau sejarah.
Pengetahuan atau kesadaran akan subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggungjawab yang fundamental itu terjadi dalam pengalaman akan diri kita sendiri sebagai subjek yang berada dalam sejarah.

5.Manusia sebagai mahluk yang bergantung.

Ketergantungan itu meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama penetapannya sebagai mahluk yang terbuka dan terarahkan kepada misteri mutlak.
Penetapan ini menyakut keniscayaan hubungan dengan misteri itu. Tak terhindarkan bahwa dia hidup dan berada didalam kehadiran misteri tersebut.
Kendati dia adalah subjek yang bebas dan bertanggungjawab, namun secara tetap, dia dihadapkan dengan atau bergantung misteri itu.
Misteri itu secara tetap menyatakan sekaligus menyembunyikan dirinya kepadanya.
Misteri menunjuk kepada sesuatu yang kita cintai,cari,dan tidak asing bagi kita tetapi dilain pihak membuat kita takut, marah, dan selalu ingin berhadapan atau berjumpa dengannya.
Keterarahan manusia pada misteri itu dialaminya sebagai suatu yang konstitutif, suatu yang diberikan atau ditetapkan dan karena itu diterimanya tanpa syarat.
Aktivitasnya mengetahui dan bertindak bebas menjadi nyata dan mempunyai arti sejauh ditempatkan dalam kehadiran misteri mutlak itu. Dalam arti itu, manusia bukanlah subjek yang murni atau absolute.
Dan misteri itu bukan hanya kata yang lain untuk apa yang belum secara penuh dipahaminya tetapi juga sesuatu yang secara eksplisit dapat diterimanya.

Kedua,dia terbatas. Selain berada dalam kehadiran misteri mutlak, manusia juga berada dalam sejarah dan dalam hubungan dengan sesamanya dan benda-benda.
Oleh karena itu manusia tidak sepenuhnya berada dalam control bebasnya sendiri sekalipun dia sendiri adalah subjek mandiri dan otonom.
Realisasi diri dan keputusan-keputusan bebasnya juga senantiasa dikondisikan, dibatasi atau ditentukan juga oleh pilihan-pilihan bebas sesamanya.
Kesadaran bahwa manusia itu terbatas sebetulnya hendak menunjukan juga bahwa ia sekaligus melampaui keterbatasannya itu sendiri.
Keterarahan pada ada yang tidak terbatas merupakan prasyarat yang memungkinkan hal-hal yang terbatas atau kategorial.

Ketiga pengalama bahwa dia sudah ada dan bahwa kenyataan itu mendahului refleksi sadarnya.
Dia mengalami dirinya sebagai yang sudah diberikan dank arena itu, dari dirinya sendiri dia tidak memiliki alasan untuk berada.
Dia menyadari dirinya sebagai mahluk yang kontingen ; mahluk yang tidak harus ada. Kenyataan bahwa dia sebetulnya tidak harus ada tentulah mencemaskan.

Tetapi karena keterbukaan dan keterarahan pada ada secara keseluruhan, maka dia juga pada saat yang sama mencari dan merindukan sesuatu yang lebih daripada sekedar yang diberikan dunia kategorial ini. Dia senantiasa berjuang mengisi eksistensinya yang terbuka itu dan hal itu berlangsung terus menerus dalam setiap aktivitas historis kategorialnya.

Selengkapnya...

FILSAFAT MANUSIA ( bag I )


Salah satu konsekuensi dari materialitas manusia adalah bahwa dia ada, bergerak,dan hidup dalam dunia, waktu dan sejarah. Manusia sebagai pribadi dan subyek adalah mahluk historis justeru karena dia adalah mahluk yang transenden. Pengalaman transendensinya selalu terjadi dalam arena kehidupan manusia yang kongkret. Tindakan kebebasan dan pengetahuannya menjadi mungkin karena adanya transendensi itu.
Bertindak bebas selalu berarti bertindak secara historis ; bertindak dalam ruang dan waktu serta dalam hubungan dengan sesama.
Namun, pada saat yang sama dalam bertindak bebas ditegaskan subyektivitas sekaligus keterarahan seseorang.
Manusia sebagai mahluk historis dan interpersonal menunjuk pada tiga hal. Pertama, manusia adalah mahluk yang berada dalam sejarah. Dia berada, bergerak dan hidup dalam ruang dan waktu. Hidupnya dikondisikan oleh situasi kebebasan orang – orang lainnya.
Dalam arti itu, dia menemukan dirinya sebagai yang sudah ada, sudah tercantumn dalam sejarah. Manusia itu terlempar kata Heidegger.

Kedua dimensi spiritualitas atau transendensi1) . Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa upaya menafsirkan diri merupakan hal yang niscaya bagi manusia.
Kendati dia berada dalam sejarah dan serentak di kondisikan oleh situasi kebebasan sesamanya, dia masih dapat mengambil jarak terhadap situasinya itu.
Dia tidak pernah ada begitu saja, akan tetapi sudah selalu berupaya mengerti faktisitasnya dan dengan demikian melampauinya.
Upaya penafsiran diri ini merupakan kesadaran yang terus menyertai semua pengertian atau pengalaman dalam sejarah.
Ketiga aktualisasi transendensi manusia terjadi dalam sejarah. Dia merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sebagai mahluk yang bebas didalam sejarah dan dalam hubungan dengan orang-orang lain. Keberakarannya dalam dunia dan sejarah merupakan titik tolak untuk transendensi.
Berkaitan dengan transendesi maka point utama yang akan saya bahas disini adalah Manusia sebagai pendengar sabda.
Sebutan ini (manusia sebagai pendengar sabda) hendak menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang secara hakiki terbuka dan bahwa seluruh hidupnya dimaksudkan untuk menanggapi atau mendengarkan sabda Allah Swt itu.
Hakekat tersebut menyangkut lima kondisi atau aspek dasar dari manusia yaitu subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggung jawab, mencari keselamatan didalam sejarah, dan ketergantungan.
Tentu saja kelima kondisi atau aspek dasariah yang disebutkan ini hanya boleh dibedakan namun tidak boleh di pisah-pisahkan.

1.Subyektivitas manusia.

Hal pertama yang harus dikatakan mengenai pendengar Sabda adalah bahwa dia merupakan pribadi/person dan subyek.
Pada era skolastik “pribadi” adalah term teknis untuk trinitas dan menunjukan pada diri manusia sebagai substansi individual yang rasional dengan nilai yang unik.
Pada era modern, ‘pribadi’ adalah pusat otonomi dan kebebasan, yang memungkinkan ia menyatakan, menentukan dan menciptakan dirinya sendiri.
Kata “pribadi” menunjuk pada manusia sebagai keseluruhan dan karena itu tidak dapat direduksi menjadi semata-mata hasil atau produk dari kekuatan – kekuatan yang sudah membentuknya.
Istilah “pribadi” mau menunjukan personalitas manusia ; dia dipanggil, disapa dengan unik. Sudah dalam arti itu kita juga sebenarnya berbicara manusia sebagai subyek.
Dengan istilah ‘subyek’ mau ditunjukan bahwa manusia itu memiliki diri. Dia adalah ‘tuan’ atas dirinya sendiri dalam hubungannya dengan dunia dan sejarah.
Dia dapat menentukan dirinya sendiri dan sanggup mengambil jarak terhadap hal-hal yang terbatas didunia.
Dia sadar bahwa kendati berada didunia dan hidup dalam hubungan dengan orang-orang lain dia tetap tidak sepenuhnya ditentukan oleh dunia dan sesamanya itu.
Menjadi seorang pribadi berarti menempatkan diri sendiri sebagai subyek dalam hubungan yang sadar dan bebas dengan segala yang ada.
Apakah artinya manusia sebagai pribadi dan subyek itu ? tentu saja, manusia bukanlah mahluk asing, ketika orang atau bahkan dirinya sendiri mulai bertanya, memikirkan hidup dan eksistensinya.
Seseorang selalu sudah mempunyai pengertian atau gambaran tertentu mengenai siapakah dan apakah manusia dan hidupnya itu.
Usaha sadar manusia untuk mencapai pemahaman akan dirinya sendiri dapat saya sebut dengan istilah antropologi.
Pemahaman dan pengetahuan mengenai manusia itu dapat diperoleh dari dua sumber.
Pertama dari pengalaman hidupnya sehari-hari yakni pengetahuan, kesadaran atau perasaan tentang dirinya sendiri dan dari pengalaman hidup bersama dengan orang-orang lain dan benda benda.

Kedua dari penelitian ilmiah atau ilmu-ilmu tentang manusia itu yang saya istilahkan dengan ilmu aposteriori atau antropologi partikular.
Ilmu-ilmu tersebut antara lain ; sosiologi, psikologi, palaentologi, biologi, biokimia, ilmu kedokteran dan lain sebagainya.
Disini saya memakai istilah antropologi partikular karena metode pendekatan atas manusia dari sudut pandang tertentu dan terbatas.
Benar bahwa manusia adalah mahluk sosial, namun sosialitas adalah satu aspek dan bukan manusia secara keseluruhan atau keutuhan.
Sangat keliru bila--dengan perspektif yang tertentu – sosiologi mengatakan bahwa “manusia itu tidak lain daripada mahluk sosial”. Pola “tidak lain daripada” adalah cara pikir yang reduktionis terhadap manusia.
Oleh karena itu, antropologi – partikular itu tidak bisa mengklaim diri sebagai satu-satunya antropologi mengingat manusia sebagai pribadi dan subyek mengalami dirinya sebagai kesatuan dan keunikan.
Meski ilmu-ilmu itu penting dan perlu sebagai pegangan untuk lebih memahaminya, namun harus diakui bahwa manusia tetap tak dibatasi oleh defenisi – defenisi, yang diberikan ilmu-ilmu itu.
Mengapa ? Karena ada atau eksistensi manusia selalu lebih daripada apa yang dapat diketahui, dipikirkan atau dikatakan tentangnya, bahkan pun kalau hal tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Manusia adalah pribadi dan subyek yang terbuka. Usaha yang dilakukan oleh ilmu-ilmu untuk memahami dirinya pun bukanlah tanpa kaitan dengan pengalaman-pengalam kongkret manusia.
Pengalam–pengalaman itu mendahului dan tidak pernah sanggup ditangkap secara penuh oleh bahasa atau refleksi teoretis manusia.
Hal ini sama sekali tidak memaksudkan bahwa refleksi atas pengalaman-pengalaman dasar manusia menjadi tidak berguna lagi.
Refleksi teoretis,-entah itu filsafat, teologi atau antropologi partikular–hanya mengartikulasikan secara konseptual apa yang sudah selalu kita alami, rasakan dan lihat dalam hidup ini dan karena itu, tidaklah memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang baru sama sekali.
Setiap orang dalam hidupnya – sadar atau tidak – selalu menampilkan diri sebagai pribadi dan subyek. Ketika dia berusaha menjelaskan dirinya, menganalisa dirinya, menanyakan asal usul dirinya atau bahkan menyangkal hakekatnya.
Dia sebetulnya sedang mengafirmasi bahwa dia adalah pribadi dan subyek. Kenyataan dasariah inilah yang disebut pengalaman akan subyektivitas atau pengalaman personal.
Pengalaman tersebut merupakan suatu pengalaman yang real dan original akan dirinya sendiri, suatu pengalaman yang berbeda dengan refleksi yang tegas dan jelas atasnya.
Kenyataan bahwa dia adalah pribadi dan subyek juga menunjukan bahwa dia sebetulnya adalah mahluk yang bergerak menuju apa yang secara radikal berasal dari luar dirinya, horison 2) mutlak, tak dapat dinamakan : menuju misteri.
Bahwa manusia mengalami dirinya sendiri sebagai pribadi dan subyek sejauh dia menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai produk dari apa yang secara radikal asing atau berasal dari luar dirinya sendiri.
Orientasinya menuju misteri tersebut menopang dan meresapi seluruh kemanusiaannya. Pengalaman–pengalaman manusia akan yang terbatas, kongkret dan kategorial menjadi mungkin justeru karena sebetulnya dia sudah selalu mengandaikan horison mutlak tersebut.
Pengertian akan dirinya sendiri atau obyek obyek kongkret itu berasal atau bersumber dari keterarahannya yang niscaya terarah kepada ada secara keseluruhan.
Subyektivitas merupakan data eksistensinya yang tidak dapat direduksi. Sudah jelas disini bahwa manusia tidak hanya mempunyai sejumlah pertanyaan tetapi ia juga adalah sang penanya adanya sendiri.
Dia bertanya dan tiap jawaban selalu berarti awal pertanyaan baru. Manusia merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Hal ini akan menjadi jelas dalam pokok bahasan transendensi manusia.

2.Transendensi manusia.

Selain sebagai pribadi dan subyek, manusia juga dipahami sebagai mahluk transenden. Paling tidak, ada dua hal yang hendak dinyatakan oleh sebutan bahwa manusia adalah mahluk transenden.

Pertama manusia secara hakiki adalah mahluk terbuka dan karena itu, mustahil untuk didefenisikan atau dibatasi.

Kedua keterbukaan dan keterarahan itu bukan didasarkan atau tertuju pada sesuatu yang hampa atau kosong. Dia terbuka dan tertuju kepada ada secara keseluruhan.
Dalam pengalaman-pengalamannya sehari – hari didunia menjadi nyata bahwa dia terbuka secara mutlak dan bahwa dia juga tidaklah ditentukan secara mutlak oleh dunia dimana dia hidup.
Pengalaman-pengalamannya menjadi mungkin dan dapat terjadi justeru karena dia terbuka terhadap horison yang tak terhingga. Transendensi merupakan fondasi yang menunjang dan menopang semua pengalamannya.
“Tallon merumuskan bahwa : transendensi merupakan tanda pengenal/penunjuk dasar dari manusia sebagai roh”. Sebagai demikian, manusia menerima transendensinya sebagai yang sudah ada dan melekat pada hakekatnya.
Artinya, transendensi itu merupakan dimensi konstitutif dari manusia; suatu yang asali yang harus diandaikan adanya supaya manusia dan aktivitasnya menjadi real atau nyata.
Struktur dasar manusia adalah keterbukaan dan karena itu mustahil dibatasi atau didefenisikan.
Apa yang dimaksud dengan keterbukaan ? Manusia rupanya terbuka terhadap segala sesuatu. Tak satupun yang secara lengkap menyenangkan atau memenuhi kehendaknya dibumi ini.
Selalu ada wilayah-wilayah pengetahuan yang tetap tersembunyi dari pengamatannya. Dan selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban langsung.
Manusia memiliki pengalaman-pengalaman, tetapi pada saat yang sama mengetahui bahwa dia terus menerus terbuka terhadap kepenuhan pengalaman yang lebih besar dan berbeda dari sebelumnya.
Tidak ada cinta yang membuatnya berharap untuk suatu cinta yang semakin besar dan abadi.
Tindakan mengetahui obyek tertentu atau menghendaki sesuatu pengantarnya pada kesadaran bahwa mengetahui dan menghendaki tidaklah terbatas.
Dalam mengetahui atau menghendaki sesuatu, dia sadar dan kemungkinan-kemungkinannya yang lain yang tak terhingga.
Disatu pihak, dia menyadari bahwa ia terbatas, tetapi dia selalu mengalami harapan akan kepenuhan mutlak.
Semua itu menunjukan bahwa manusia secara hakiki adalah mahluk transendensi. Pengalaman transendensinya menandainya sebagai mahluk yang berorientasi, namun tetap dengan bertitik tolak dari dunia dan sejarahnya.
Transendensi menunjuk pada cara seseorang berada yang mendasar, cara dia mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Maka, transendensi merupakan keterbukaan apriori sang subyek terhadap ‘ada secara keseluruhan’ dan hadir justeru ketika dia mengalami dirinya sendiri sebagai yang bertanya dan terlibat dalam dunia atau sejarah.
Anda tentu melampaui setiap obyek kongkret–kategorial yang terbatas dalam dunia atau sejarah, tetapi pada saat yang sama meraih atau menjumpai hanya obyek-obyek yang terbatas itu.
Dengan kata lain : manusia mengalami dirinya sendiri sebagai kemungkinan yang tak terhingga.
Transendensinya tak pernah berakhir atau terbatas karena tiap batas atau akhir berarti suatu permulaan lagi.
Oleh umat beragama, horison terjauh dari transendensinya disebut Tuhan, atau Allah.
Manusia adalah mahluk transenden sejauh semua pengetahuan dan semua aktivitas sadarnya berakar atau didasarkan pada vorgriff, pra-paham akan ada secara keseluruhan.
Namun manusia bukanlah subyek murni/mutlak. Dia menerima ada atau eksistensinya secara cuma cuma dan dalam arti – Rahmat (hidayah).
Transendensi itu sesuatu yang asali dan memungkinkannya secara total terbuka terhadap horison atau misteri mutlak dan justeru dengan atau dalam jalan itulah dia menjadi sadar akan dirinya sendiri dan subyek.
Tak dapat dihindari bahwa manusia sudah selalu sedang berada dalam horison yang tidak terhingga.
Horison yang tidak terhingga itu harus diandaikan atau diakui eksistensinya – eksplisit atau implisit – agar hal-hal yang kongkret-kategorial yang menjadi obyek pengetahuan manusia menjadi mungkin dan dapat dipikirkan.
Dengan kata lain, horison tersebut merupakan prasyarat yang memungkinkan sekaligus titik tuju dari setiap pengetahuan dan tindakan bebas seseorang dalam sejarah.

To be continued....

footnotes :
1) Transendental disini menunjuk pada dua hal yaitu filsafat transendental dan filsafat mengenai transendensi. Yang dimaksud dengan filsafat transendental adalah filsafat yang menyelidiki kondisi-kondisi kemungkinan suatu tindakan pemahaman dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan filsafat transendensi adalah refleksi atas pengalaman transendental yakni pengalaman akan keterbukaan atau transendensi dimana struktur pengalaman subjek karena itu struktur akhir dari semua obyek pengetahuan kategorialnya hadir bersama dan dalam identitasnya

2)Horison adalah term fenomenologi ; kata bahasa Yunani yang artinya memisahkan, membatasi. Horison mau menunjukan peran aktif manusia sebagai subyek yang mengetahui terhadap dunia. Horizon menjadi semacam pagar batas tak kelihatan yang seakan akan membatasi wilayah penglihatan atau pengetahuan saya. Dalam arti itu, horison tersebut berada ‘diluar’ disini berbeda dengan pagar nyata yang ada disamping rumah misalnya, karena pagar tersebut dapat diraba,dipanjat dan bisa melihat keluar. Tetapi term fenomenologi ini tidak dapat didekati seperti itu. Sebabnya, jika saya berjalan kearahterentangnya horison itu, maka seakan akan mundur kebelakang, berkait kaitan dengan diri saya. Dalama arti itu, ia berada ‘didalam’ dan niscaya diperlukan untuk memungkinkan dan menjamin kesatuan pengetahuan dan aktivitas manusia didunia. Dan horizon (absolute) itu bukanlah salah satu obyek diantara yang lain tetapi memungkinkan untuk memberi status objektif pada pengetahuan dan aktivitas manusia. Horizon menjadi kerangka acuan yang menjamin terjalinnya obyek-obyek tertentu dalam suatu keseluruhan dimana obyek yang satu mengacukan obyek yang lain.

Selengkapnya...