3.Kebebasan dan tanggung jawab
Seperti halnya dengan subjektivitas dan transendensi, kebebasan dan tanggung jawab sebagai hal-hal yang eksistensial dari eksistensi manusia. Artinya, kebebasan dan tanggungjawab bukanlah data particular atau tambahan terhadap kenyataan manusia diantara data-data lainnya.
Kebebasan dan tanggung jawab selalu berhubungan dengan pribadi sebagaimana adanya dan sebagai keseluruhan. Obyek kebebasan dalam artinya yang terdalam adalah subyek sendiri. Sebab menjadi manusia berarti menjadi bebas. Maka kebebasan adalah sesuatu yang asali. Dalam bertindak bebas ia bertemu dan mewujudkan dirinya sendiri yang terdalam.
Ada beberapa gagasan pokok yang dapat diambil dari rumusan-rumusan ini :
Pertama kebebasan dan tanggung jawab bukanlah data particular, tetapi sesuatu yang transendental.
Sebagai sesuatu yang transendental, maka kebebasan dan tanggung jawab merupakan sesuatu yang harus diandaikan adanya supaya aktualisasi diri, tindakan bebas dan pengetahuannya menjadi mingkin, real atau dapat terjadi.
Tindakan manusia menentukan dirinya sendiri sebagaimana nyata dalam sikap-sikap, pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan moralnya berasal atau bersumber dari apa yang disebut dengan kebebasan transendental.
Kebebasan transendental adalah tanggung jawab tertinggi atau terakhir dari manusia sebagai subyek terhadap dirinya sendiri.
Artinya bahwa kebebasan merupakan elemen dasar dari setiap manusia.
Kedua termasuk dalam dalam hakekat kebebasan adalah kesanggupan untuk melampaui atau mengambil jarak terhadap dunia dan sejarahnya.
Cara bagaimana saya bertindak dan mengetahui menunjukkan bahwa saya sedang berhadapan dengan diri saya sendiri dan dengan demikian sebagai subyek yang bebas dan bertanggung jawab.
Dalam setiap tindakan kita untuk menentukan dan mengaktualisasikan diri sendiri menjadi nyata bahwa kita sebenarnya adalah mahluk yang bebas.
Kenyataan tersebut bersifat mendasar dan menegaskan keterbukaan manusia. Dalam keadaan seperti itu, ”saya” mengalami diriku sebagai subyek yang berhadapan dengan dan menyerahkan diri kepada keterbukaan itu.
Maka, setiap tindakan dan pengetahuan saya atas sesuatu yang kongkret–kategorial menjadi nyata atau jelas bahwa saya sebenarnya sedang mengisi keterbukaan saya itu.
Karena keterbukaan tersebut, saya tidak berhenti bebas dengan menentukan suatu sikap terhadap sesuatu yang kongkret.
Keterbukaan itu mendahului dan meresapi setiap tindakan dan pengetahuan kategorial saya.
Keterbukaan itulah yang memungkinkan saya sanggup mengambil jarak, melampaui, dan mentransendensi keterbatasan dunia kongkret–kategorial ini.
Ketiga kebebasan adalah kapasitas untuk sesuatu yang abadi. Maksud saya, kapasitas untuk menetapkan sesuatu yang niscaya, sesuatu yang final dan defenitif.
Maka, hakekatnya tidaklah terletak dalam kemampuan atau fakultas lainnya dimana dia dapat melakukan atau tidak dapat melakukan ini atau itu melalui pilihan yang arbitrer.
Kebebasan pertama-tama berhadapan langsung dengan subyek sebagaimana adanya dan sebagai keseluruhan.
Dalam kebebasan, subyek itu selalu memaksudkan dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang lain ; dia mengerjakan bukan sesuatu yang lain melainkan dirinya sendiri.
Maka afirmasi terhadap kebebasan mendahului negasi atau penyangkalannya.
Kita sudah selalu bebas, juga kalau kita menyangkal kebebasan itu dengan mengatakan, misalnya, saya tidak bebas.
Penyangkalan akan kebebasan merupakan salah satu bentuk aktualisasi kebebasan dan tidak setara dengan afirmasi terhadapnya.
Keempat mediasi kongkret kebebasan. Kebebasan adalah kebebasan dalam dan melalui sejarah ; terjadi dalam ruang dan waktu.
Artinya kebebasan itu ada dan aktualisasinya terjadi dalam dunia dan sejarah.
Hanya dengan jalan inilah kebebasan itu adalah kebebasan subyek dalam hubungannya dengan dirinya sendiri.
Semua keputusan subyek menjadi obyek-obyek dalam pengalamannya akan dunia sekitarnya adalah obyek-obyek kebebasan sejauh dimediasikan subyek itu dalam ruang dan waktu kepada dirinya sendiri.
Obyek-obyek kebebasan itu selalu memaksudkan dan mengaktualisasikan hal yang satu dan sama yakni subyek yang utuh dalam totalitas sejarahnya yang unik itu.
Mengapa ? karena bertindak bebas selalu berarti bertindak secara historis.
Sudah dalam arti ini kebebasan subyek tidaklah absolute sebab seseorang tidak hanya berhadapan dengan dirinya sendiri, dunia dan sesamanya tetapi juga horison mutlak, sasaran keterbukaan kita.
Kebebasanpun tidak pernah dapat diketahui atau diobjektifikasikan secara penuh justeru karena manusia selalu dapat melampaui obyek-obyek kebebasan kategorial.
Relevan pada pokok tentang kebebasan ini untuk melihat dua momennya yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain, yakni momen transendental dan momen kategorial.
Momen transendental menyangkut kebebasan sebagai presuposisi, sebagai hal yang harus diandaikan adanya agar aktualisasi diri manusia sebagaimana nyata dalam sikap-sikap, pilihan-pilihan, keputusan-keputusannya, menjadi mungkin, real dan dapat dipikirkan.
Momen kategorial menyangkut aktualisasi kebebasan dalam dunia atau sejarah.
Dua momen ini membentuk satu kesatuan. Kita dapat merefleksikan atau mengetahui kebebasan transendental ketika ia dimediasikan, diobjektifikasikan atau diaktualisasikan dalam sejarah dalam pilihan atau keputusan bebas kita.
Kita mengetahui sekaligus mengafirmasi kebebasan itu dalam pengalaman kita akan diri kita sendiri sebagai subyek.
Namun harus diingat bahwa kendatipun merupakan prasyarat, dasar dan isi kebebasan kategorial, kebebasan transendental tetap tidak pernah dapat direduksi didalam aktualisasinya yang kongkret dalam sejarah.
4.Mencari keselamatan dalam sejarah
Aspek keempat mencari keselamatan dalam sejarah ada dua hal yang saya kemukakan disini.
Pertama titik tolak untuk memahami keselamatan adalah antropologi – teologi.
Yang saya maksud adalah seluruh diri manusia dalam hubungannya yang niscaya dan tak terhindarkan dengan Pencipta (Allah).
Keyakinan dasar yang saya maksud adalah bahwa refleksi atau analisis filosofis yang mendasar atas kondisi kondisi dasar manusia tidak bisa tidak dikaitkan dengan refleksi teologis.
Maksud saya adalah pertanyaan yang real mengenai eksistensi personal merupakan pertanyaan mengenai keselamatan.
Dengan titik tolak ini dapat dihindari makna keselamatan yang cenderung mitologis yang tampak dalam paham bahwa keselamatan merupakan situasi masa depan yang jatuh pada orang tanpa ia sendiri mengharapkannya ; keselamatan dapat dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari luar dan diberikan padanya melulu atas dasar penilaian moral.
Keselamatan itu dengan dua cara yang merupakan satu kesatuan yakni pencapaian objektif dan subjektif.
Dengan pencapaian objektif dimaksudkan bahwa semua umat manusia—karena rahmat – sudah dimaksudkan untuk kembali kepada-Nya dan dengan demikian digerakkan dari dalam oleh Allah sendiri.
Dengan pencapain subjektif : pembebasan yang eksistensial dan pemenuhan kehidupan manusia itu sendiri.
Maksud saya keselamatan dalam konteks ini terkait dengan validitas yang final dam definitif dari pemahaman dan realisasi diri manusia dihadapan sang Pencipta.
Sudah dalam arti ini, keselamatan tidak dapat dicapai hanya oleh usaha manusia sendiri saja.
Mengapa ? karena manusia mahluk yang terbatas. Dia mengalami keterbatasannya secara mendasar dalam asal usulnya yang kontingen (dia tidak mutlak ada), dalam pengalaman kematian, dan dalam ancaman-ancaman yang tetap terhadap eksistensinya lantaran situasi dosa.
Akan tetapi karena manusia adalah mahluk transendensi, maka kendati dia berada atau bergerak dalam waktu yang temporal didunia ini, dia tetap terbuka dan berharap kepada kepenuhan yang lebih dari sekedar yang dapat diberikan oleh dunia yang terbatas ini.
Dia sadar akan keterbatasannya didunia temporal tetapi sekaligus merindukan eternitas atau keabadian.
Eternitas adalah pemenuhan waktu itu sendiri ; realisasi kebebasan dalam waktu dan karena itu bukanlah lawan dari waktu yang temporal.
Kedua keselamatan didalam sejarah. Pemahaman tentang keselamatan dimulai dengan mengakui secara penuh bahwa kita berada dalam sejarah sekaligus terbuka dan terarahkan pada Tuhan.
Penegasan ini penting mengingat warta atau pesan keagamaan dialamatkan kepada manusia dalam sejarah.
Subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggungjawab manusia merupakan suatu yang hakiki dan disadari atau diketahui justeru ketika mereka dimediasikan, diobjektivikasikan atau diaktualisasikan dalam dunia atau sejarah.
Pengetahuan atau kesadaran akan subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggungjawab yang fundamental itu terjadi dalam pengalaman akan diri kita sendiri sebagai subjek yang berada dalam sejarah.
5.Manusia sebagai mahluk yang bergantung.
Ketergantungan itu meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama penetapannya sebagai mahluk yang terbuka dan terarahkan kepada misteri mutlak.
Penetapan ini menyakut keniscayaan hubungan dengan misteri itu. Tak terhindarkan bahwa dia hidup dan berada didalam kehadiran misteri tersebut.
Kendati dia adalah subjek yang bebas dan bertanggungjawab, namun secara tetap, dia dihadapkan dengan atau bergantung misteri itu.
Misteri itu secara tetap menyatakan sekaligus menyembunyikan dirinya kepadanya.
Misteri menunjuk kepada sesuatu yang kita cintai,cari,dan tidak asing bagi kita tetapi dilain pihak membuat kita takut, marah, dan selalu ingin berhadapan atau berjumpa dengannya.
Keterarahan manusia pada misteri itu dialaminya sebagai suatu yang konstitutif, suatu yang diberikan atau ditetapkan dan karena itu diterimanya tanpa syarat.
Aktivitasnya mengetahui dan bertindak bebas menjadi nyata dan mempunyai arti sejauh ditempatkan dalam kehadiran misteri mutlak itu. Dalam arti itu, manusia bukanlah subjek yang murni atau absolute.
Dan misteri itu bukan hanya kata yang lain untuk apa yang belum secara penuh dipahaminya tetapi juga sesuatu yang secara eksplisit dapat diterimanya.
Kedua,dia terbatas. Selain berada dalam kehadiran misteri mutlak, manusia juga berada dalam sejarah dan dalam hubungan dengan sesamanya dan benda-benda.
Oleh karena itu manusia tidak sepenuhnya berada dalam control bebasnya sendiri sekalipun dia sendiri adalah subjek mandiri dan otonom.
Realisasi diri dan keputusan-keputusan bebasnya juga senantiasa dikondisikan, dibatasi atau ditentukan juga oleh pilihan-pilihan bebas sesamanya.
Kesadaran bahwa manusia itu terbatas sebetulnya hendak menunjukan juga bahwa ia sekaligus melampaui keterbatasannya itu sendiri.
Keterarahan pada ada yang tidak terbatas merupakan prasyarat yang memungkinkan hal-hal yang terbatas atau kategorial.
Ketiga pengalama bahwa dia sudah ada dan bahwa kenyataan itu mendahului refleksi sadarnya.
Dia mengalami dirinya sebagai yang sudah diberikan dank arena itu, dari dirinya sendiri dia tidak memiliki alasan untuk berada.
Dia menyadari dirinya sebagai mahluk yang kontingen ; mahluk yang tidak harus ada. Kenyataan bahwa dia sebetulnya tidak harus ada tentulah mencemaskan.
Tetapi karena keterbukaan dan keterarahan pada ada secara keseluruhan, maka dia juga pada saat yang sama mencari dan merindukan sesuatu yang lebih daripada sekedar yang diberikan dunia kategorial ini. Dia senantiasa berjuang mengisi eksistensinya yang terbuka itu dan hal itu berlangsung terus menerus dalam setiap aktivitas historis kategorialnya.