Salah satu konsekuensi dari materialitas manusia adalah bahwa dia ada, bergerak,dan hidup dalam dunia, waktu dan sejarah. Manusia sebagai pribadi dan subyek adalah mahluk historis justeru karena dia adalah mahluk yang transenden. Pengalaman transendensinya selalu terjadi dalam arena kehidupan manusia yang kongkret. Tindakan kebebasan dan pengetahuannya menjadi mungkin karena adanya transendensi itu.
Bertindak bebas selalu berarti bertindak secara historis ; bertindak dalam ruang dan waktu serta dalam hubungan dengan sesama.
Namun, pada saat yang sama dalam bertindak bebas ditegaskan subyektivitas sekaligus keterarahan seseorang.
Manusia sebagai mahluk historis dan interpersonal menunjuk pada tiga hal. Pertama, manusia adalah mahluk yang berada dalam sejarah. Dia berada, bergerak dan hidup dalam ruang dan waktu. Hidupnya dikondisikan oleh situasi kebebasan orang – orang lainnya.
Dalam arti itu, dia menemukan dirinya sebagai yang sudah ada, sudah tercantumn dalam sejarah. Manusia itu terlempar kata Heidegger.
Kedua dimensi spiritualitas atau transendensi1) . Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa upaya menafsirkan diri merupakan hal yang niscaya bagi manusia.
Kendati dia berada dalam sejarah dan serentak di kondisikan oleh situasi kebebasan sesamanya, dia masih dapat mengambil jarak terhadap situasinya itu.
Dia tidak pernah ada begitu saja, akan tetapi sudah selalu berupaya mengerti faktisitasnya dan dengan demikian melampauinya.
Upaya penafsiran diri ini merupakan kesadaran yang terus menyertai semua pengertian atau pengalaman dalam sejarah.
Ketiga aktualisasi transendensi manusia terjadi dalam sejarah. Dia merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sebagai mahluk yang bebas didalam sejarah dan dalam hubungan dengan orang-orang lain. Keberakarannya dalam dunia dan sejarah merupakan titik tolak untuk transendensi.
Berkaitan dengan transendesi maka point utama yang akan saya bahas disini adalah Manusia sebagai pendengar sabda.
Sebutan ini (manusia sebagai pendengar sabda) hendak menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang secara hakiki terbuka dan bahwa seluruh hidupnya dimaksudkan untuk menanggapi atau mendengarkan sabda Allah Swt itu.
Hakekat tersebut menyangkut lima kondisi atau aspek dasar dari manusia yaitu subjektivitas, transendensi, kebebasan dan tanggung jawab, mencari keselamatan didalam sejarah, dan ketergantungan.
Tentu saja kelima kondisi atau aspek dasariah yang disebutkan ini hanya boleh dibedakan namun tidak boleh di pisah-pisahkan.
1.Subyektivitas manusia.
Hal pertama yang harus dikatakan mengenai pendengar Sabda adalah bahwa dia merupakan pribadi/person dan subyek.
Pada era skolastik “pribadi” adalah term teknis untuk trinitas dan menunjukan pada diri manusia sebagai substansi individual yang rasional dengan nilai yang unik.
Pada era modern, ‘pribadi’ adalah pusat otonomi dan kebebasan, yang memungkinkan ia menyatakan, menentukan dan menciptakan dirinya sendiri.
Kata “pribadi” menunjuk pada manusia sebagai keseluruhan dan karena itu tidak dapat direduksi menjadi semata-mata hasil atau produk dari kekuatan – kekuatan yang sudah membentuknya.
Istilah “pribadi” mau menunjukan personalitas manusia ; dia dipanggil, disapa dengan unik. Sudah dalam arti itu kita juga sebenarnya berbicara manusia sebagai subyek.
Dengan istilah ‘subyek’ mau ditunjukan bahwa manusia itu memiliki diri. Dia adalah ‘tuan’ atas dirinya sendiri dalam hubungannya dengan dunia dan sejarah.
Dia dapat menentukan dirinya sendiri dan sanggup mengambil jarak terhadap hal-hal yang terbatas didunia.
Dia sadar bahwa kendati berada didunia dan hidup dalam hubungan dengan orang-orang lain dia tetap tidak sepenuhnya ditentukan oleh dunia dan sesamanya itu.
Menjadi seorang pribadi berarti menempatkan diri sendiri sebagai subyek dalam hubungan yang sadar dan bebas dengan segala yang ada.
Apakah artinya manusia sebagai pribadi dan subyek itu ? tentu saja, manusia bukanlah mahluk asing, ketika orang atau bahkan dirinya sendiri mulai bertanya, memikirkan hidup dan eksistensinya.
Seseorang selalu sudah mempunyai pengertian atau gambaran tertentu mengenai siapakah dan apakah manusia dan hidupnya itu.
Usaha sadar manusia untuk mencapai pemahaman akan dirinya sendiri dapat saya sebut dengan istilah antropologi.
Pemahaman dan pengetahuan mengenai manusia itu dapat diperoleh dari dua sumber.
Pertama dari pengalaman hidupnya sehari-hari yakni pengetahuan, kesadaran atau perasaan tentang dirinya sendiri dan dari pengalaman hidup bersama dengan orang-orang lain dan benda benda.
Kedua dari penelitian ilmiah atau ilmu-ilmu tentang manusia itu yang saya istilahkan dengan ilmu aposteriori atau antropologi partikular.
Ilmu-ilmu tersebut antara lain ; sosiologi, psikologi, palaentologi, biologi, biokimia, ilmu kedokteran dan lain sebagainya.
Disini saya memakai istilah antropologi partikular karena metode pendekatan atas manusia dari sudut pandang tertentu dan terbatas.
Benar bahwa manusia adalah mahluk sosial, namun sosialitas adalah satu aspek dan bukan manusia secara keseluruhan atau keutuhan.
Sangat keliru bila--dengan perspektif yang tertentu – sosiologi mengatakan bahwa “manusia itu tidak lain daripada mahluk sosial”. Pola “tidak lain daripada” adalah cara pikir yang reduktionis terhadap manusia.
Oleh karena itu, antropologi – partikular itu tidak bisa mengklaim diri sebagai satu-satunya antropologi mengingat manusia sebagai pribadi dan subyek mengalami dirinya sebagai kesatuan dan keunikan.
Meski ilmu-ilmu itu penting dan perlu sebagai pegangan untuk lebih memahaminya, namun harus diakui bahwa manusia tetap tak dibatasi oleh defenisi – defenisi, yang diberikan ilmu-ilmu itu.
Mengapa ? Karena ada atau eksistensi manusia selalu lebih daripada apa yang dapat diketahui, dipikirkan atau dikatakan tentangnya, bahkan pun kalau hal tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Manusia adalah pribadi dan subyek yang terbuka. Usaha yang dilakukan oleh ilmu-ilmu untuk memahami dirinya pun bukanlah tanpa kaitan dengan pengalaman-pengalam kongkret manusia.
Pengalam–pengalaman itu mendahului dan tidak pernah sanggup ditangkap secara penuh oleh bahasa atau refleksi teoretis manusia.
Hal ini sama sekali tidak memaksudkan bahwa refleksi atas pengalaman-pengalaman dasar manusia menjadi tidak berguna lagi.
Refleksi teoretis,-entah itu filsafat, teologi atau antropologi partikular–hanya mengartikulasikan secara konseptual apa yang sudah selalu kita alami, rasakan dan lihat dalam hidup ini dan karena itu, tidaklah memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang baru sama sekali.
Setiap orang dalam hidupnya – sadar atau tidak – selalu menampilkan diri sebagai pribadi dan subyek. Ketika dia berusaha menjelaskan dirinya, menganalisa dirinya, menanyakan asal usul dirinya atau bahkan menyangkal hakekatnya.
Dia sebetulnya sedang mengafirmasi bahwa dia adalah pribadi dan subyek. Kenyataan dasariah inilah yang disebut pengalaman akan subyektivitas atau pengalaman personal.
Pengalaman tersebut merupakan suatu pengalaman yang real dan original akan dirinya sendiri, suatu pengalaman yang berbeda dengan refleksi yang tegas dan jelas atasnya.
Kenyataan bahwa dia adalah pribadi dan subyek juga menunjukan bahwa dia sebetulnya adalah mahluk yang bergerak menuju apa yang secara radikal berasal dari luar dirinya, horison 2) mutlak, tak dapat dinamakan : menuju misteri.
Bahwa manusia mengalami dirinya sendiri sebagai pribadi dan subyek sejauh dia menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai produk dari apa yang secara radikal asing atau berasal dari luar dirinya sendiri.
Orientasinya menuju misteri tersebut menopang dan meresapi seluruh kemanusiaannya. Pengalaman–pengalaman manusia akan yang terbatas, kongkret dan kategorial menjadi mungkin justeru karena sebetulnya dia sudah selalu mengandaikan horison mutlak tersebut.
Pengertian akan dirinya sendiri atau obyek obyek kongkret itu berasal atau bersumber dari keterarahannya yang niscaya terarah kepada ada secara keseluruhan.
Subyektivitas merupakan data eksistensinya yang tidak dapat direduksi. Sudah jelas disini bahwa manusia tidak hanya mempunyai sejumlah pertanyaan tetapi ia juga adalah sang penanya adanya sendiri.
Dia bertanya dan tiap jawaban selalu berarti awal pertanyaan baru. Manusia merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Hal ini akan menjadi jelas dalam pokok bahasan transendensi manusia.
2.Transendensi manusia.
Selain sebagai pribadi dan subyek, manusia juga dipahami sebagai mahluk transenden. Paling tidak, ada dua hal yang hendak dinyatakan oleh sebutan bahwa manusia adalah mahluk transenden.
Pertama manusia secara hakiki adalah mahluk terbuka dan karena itu, mustahil untuk didefenisikan atau dibatasi.
Kedua keterbukaan dan keterarahan itu bukan didasarkan atau tertuju pada sesuatu yang hampa atau kosong. Dia terbuka dan tertuju kepada ada secara keseluruhan.
Dalam pengalaman-pengalamannya sehari – hari didunia menjadi nyata bahwa dia terbuka secara mutlak dan bahwa dia juga tidaklah ditentukan secara mutlak oleh dunia dimana dia hidup.
Pengalaman-pengalamannya menjadi mungkin dan dapat terjadi justeru karena dia terbuka terhadap horison yang tak terhingga. Transendensi merupakan fondasi yang menunjang dan menopang semua pengalamannya.
“Tallon merumuskan bahwa : transendensi merupakan tanda pengenal/penunjuk dasar dari manusia sebagai roh”. Sebagai demikian, manusia menerima transendensinya sebagai yang sudah ada dan melekat pada hakekatnya.
Artinya, transendensi itu merupakan dimensi konstitutif dari manusia; suatu yang asali yang harus diandaikan adanya supaya manusia dan aktivitasnya menjadi real atau nyata.
Struktur dasar manusia adalah keterbukaan dan karena itu mustahil dibatasi atau didefenisikan.
Apa yang dimaksud dengan keterbukaan ? Manusia rupanya terbuka terhadap segala sesuatu. Tak satupun yang secara lengkap menyenangkan atau memenuhi kehendaknya dibumi ini.
Selalu ada wilayah-wilayah pengetahuan yang tetap tersembunyi dari pengamatannya. Dan selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban langsung.
Manusia memiliki pengalaman-pengalaman, tetapi pada saat yang sama mengetahui bahwa dia terus menerus terbuka terhadap kepenuhan pengalaman yang lebih besar dan berbeda dari sebelumnya.
Tidak ada cinta yang membuatnya berharap untuk suatu cinta yang semakin besar dan abadi.
Tindakan mengetahui obyek tertentu atau menghendaki sesuatu pengantarnya pada kesadaran bahwa mengetahui dan menghendaki tidaklah terbatas.
Dalam mengetahui atau menghendaki sesuatu, dia sadar dan kemungkinan-kemungkinannya yang lain yang tak terhingga.
Disatu pihak, dia menyadari bahwa ia terbatas, tetapi dia selalu mengalami harapan akan kepenuhan mutlak.
Semua itu menunjukan bahwa manusia secara hakiki adalah mahluk transendensi. Pengalaman transendensinya menandainya sebagai mahluk yang berorientasi, namun tetap dengan bertitik tolak dari dunia dan sejarahnya.
Transendensi menunjuk pada cara seseorang berada yang mendasar, cara dia mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Maka, transendensi merupakan keterbukaan apriori sang subyek terhadap ‘ada secara keseluruhan’ dan hadir justeru ketika dia mengalami dirinya sendiri sebagai yang bertanya dan terlibat dalam dunia atau sejarah.
Anda tentu melampaui setiap obyek kongkret–kategorial yang terbatas dalam dunia atau sejarah, tetapi pada saat yang sama meraih atau menjumpai hanya obyek-obyek yang terbatas itu.
Dengan kata lain : manusia mengalami dirinya sendiri sebagai kemungkinan yang tak terhingga.
Transendensinya tak pernah berakhir atau terbatas karena tiap batas atau akhir berarti suatu permulaan lagi.
Oleh umat beragama, horison terjauh dari transendensinya disebut Tuhan, atau Allah.
Manusia adalah mahluk transenden sejauh semua pengetahuan dan semua aktivitas sadarnya berakar atau didasarkan pada vorgriff, pra-paham akan ada secara keseluruhan.
Namun manusia bukanlah subyek murni/mutlak. Dia menerima ada atau eksistensinya secara cuma cuma dan dalam arti – Rahmat (hidayah).
Transendensi itu sesuatu yang asali dan memungkinkannya secara total terbuka terhadap horison atau misteri mutlak dan justeru dengan atau dalam jalan itulah dia menjadi sadar akan dirinya sendiri dan subyek.
Tak dapat dihindari bahwa manusia sudah selalu sedang berada dalam horison yang tidak terhingga.
Horison yang tidak terhingga itu harus diandaikan atau diakui eksistensinya – eksplisit atau implisit – agar hal-hal yang kongkret-kategorial yang menjadi obyek pengetahuan manusia menjadi mungkin dan dapat dipikirkan.
Dengan kata lain, horison tersebut merupakan prasyarat yang memungkinkan sekaligus titik tuju dari setiap pengetahuan dan tindakan bebas seseorang dalam sejarah.
To be continued....
footnotes :
1) Transendental disini menunjuk pada dua hal yaitu filsafat transendental dan filsafat mengenai transendensi. Yang dimaksud dengan filsafat transendental adalah filsafat yang menyelidiki kondisi-kondisi kemungkinan suatu tindakan pemahaman dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan filsafat transendensi adalah refleksi atas pengalaman transendental yakni pengalaman akan keterbukaan atau transendensi dimana struktur pengalaman subjek karena itu struktur akhir dari semua obyek pengetahuan kategorialnya hadir bersama dan dalam identitasnya
2)Horison adalah term fenomenologi ; kata bahasa Yunani yang artinya memisahkan, membatasi. Horison mau menunjukan peran aktif manusia sebagai subyek yang mengetahui terhadap dunia. Horizon menjadi semacam pagar batas tak kelihatan yang seakan akan membatasi wilayah penglihatan atau pengetahuan saya. Dalam arti itu, horison tersebut berada ‘diluar’ disini berbeda dengan pagar nyata yang ada disamping rumah misalnya, karena pagar tersebut dapat diraba,dipanjat dan bisa melihat keluar. Tetapi term fenomenologi ini tidak dapat didekati seperti itu. Sebabnya, jika saya berjalan kearahterentangnya horison itu, maka seakan akan mundur kebelakang, berkait kaitan dengan diri saya. Dalama arti itu, ia berada ‘didalam’ dan niscaya diperlukan untuk memungkinkan dan menjamin kesatuan pengetahuan dan aktivitas manusia didunia. Dan horizon (absolute) itu bukanlah salah satu obyek diantara yang lain tetapi memungkinkan untuk memberi status objektif pada pengetahuan dan aktivitas manusia. Horizon menjadi kerangka acuan yang menjamin terjalinnya obyek-obyek tertentu dalam suatu keseluruhan dimana obyek yang satu mengacukan obyek yang lain.